Apakah anda orang yang termasuk bete ketika diskusi (mostly di internet) tiba-tiba lawan diskusi langsung lompat ke dalil dan main kutip sana-sini? Saya juga 😁 tapi bukan berarti saya anti dalil loh.
Dalil secara etimologis artinya "bukti" (mohon koreksinya bagi yang paham bahasa Arab, males ah ambil kamus di rak. Kamus Arab saya segede kaiju Pacific Rim, tau gak?), namun makna dalam bahasa Indonesianya menurut tafsiran saya adalah "landasan". Dalam pembicaraan soal hukum agama, dalil biasanya berupa ayat atau hadits yang mendukung sebuah tindakan atau argumen. Maka kalo dalam bahasa Indonesia, arti yang paling pas saya kira adalah "landasan".
Dalam "tactical fiqih" (halah ) yang saya pelajari dari guru saya. Dalil itu ada dua:
Dalil secara etimologis artinya "bukti" (mohon koreksinya bagi yang paham bahasa Arab, males ah ambil kamus di rak. Kamus Arab saya segede kaiju Pacific Rim, tau gak?), namun makna dalam bahasa Indonesianya menurut tafsiran saya adalah "landasan". Dalam pembicaraan soal hukum agama, dalil biasanya berupa ayat atau hadits yang mendukung sebuah tindakan atau argumen. Maka kalo dalam bahasa Indonesia, arti yang paling pas saya kira adalah "landasan".
Dalam "tactical fiqih" (halah ) yang saya pelajari dari guru saya. Dalil itu ada dua:
- Aqli (berbasis nalar)
- Naqli (berbasis teks: Quran, Hadits)
Perlukah nalar dalam beragama? |
Ntar yang dalil Naqli masih ada pembagiannya lagi. Misalnya hadits ada qouliyah, fi'liyah dan taqririyah. Qouliyah adalah perkataan Nabi, fi'liyah adalah teladan perbuatan dan taqririyah adalah ketika Nabi mendiamkan suatu perbuatan.
Nah, dengan begini seorang Muslim yang bertanggungjawab (termasuk saat medsosan), setidaknya mendasarkan opininya pada dalil (entah aqli atau naqli, yang jelas bertanggungjawab). Nggak bisa waton pake "common sense". Common sense itu lumayan ribet nalarnya. Ada bias sesuai dengan asupan dan didikan lingkungan. Belum lagi kalo ada unsur politiknya. Misal anda dididik untuk benci Syiah, anda nggak akan bisa terima gugatan historis kenapa ada satu poin penting terlupa dalam wasiat Nabi menjelang wafat. Kalo anda seorang Prabowers fanatik, mungkin akan sukar menerima kalo sholatnya Jokowi itu gak masalah meski pake kaos kaki ato sepatu. Misalnya lho ... (kafir-kafiran n laknat-laknatannya ntar aja deh, lanjutin baca dulu gih)
Lagian banyak lho hal-hal yang nggak "terduga" (oleh awam) ketika kita menelusuri teks keagamaan. Misalnya, Nabi tu pernah ngebiarin ada orang Badui kencing dalam masjid (cek hadits Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284). Nabi nggak menggalang demo dan main perkusi eh persekusi. Beliau cuma suruh para sahabat ambil air dan nyiram tu bekas currr. Tapi kalo anda waras, jelas ini bukan berarti membolehkan pipis di dalam masjid. Karene kita pake dalil aqli-nya. Kalo Nabi membolehkan, 'kan tentu "artefak curahan batang" tu nggak disiram. Di sini kita belajar bagaimana Islam beretika. Mungkin si Badui itu hidup di kultur di mana pipis bisa sembarangan. Kayak kita yang hidup di kultur buang sampah sembarangan dan menyerobot antrean itu gak masalah.
Di kesempatan lain, Nabi juga membiarkan anak-anak Habasyah main perang-perangan dalam masjid (mungkin mereka sedang melakukan drill-drill Balintawak). Nabi membiarkan Aisyah nonton malahan (cek Hadits Al-Bukhari no 454). Tapi ini juga bukan berarti kita semena-mena memperluas kebolehannya, misalnya:
- Boleh fitness di masjid nggak? Mungkin boleh kalo cuma lifting bedug atau mimbar.
- Boleh futsal di masjid nggak? Nggak boleh. Ntar ganggu kita tidur.
- Boleh main volley nggak? Sori, itu pembatas jamaah cowok ama cewek ya, bukan net.
- Boleh main mercon dalam masjid? Mercon yang mana? Yang ada detonatornya?
- Main panahan dalam masjid boleh nggak? Kalo sambil naik kuda kayak Rambo jelas nggak boleh.