Diskusi publik NKRI vs Khilafah yang diselenggarakan Pengurus Cabang PMII Kota Bandung, Kamis, 20 April 2017 (Sumber: NU Online) |
Pengertian Khilafah
Secara bahasa khalifah artinya "penerus". Sedangkan dalam Al Quran, khalifah memiliki makna antara lain "penguasa" atau yang lebih substansif yakni "pengelola", misalnya pada istilah " khalifatullah fil ardh"...khalifah Allah di muka bumi...artinya pengelola kekuasaan Tuhan di bumi. (QS al-Baqarah: 30, al-An'am: 165). Itu latar kebahasaannya. Ada pembahasan yang lebih dalam soal itu.Siapa yang Berhak Jadi Khalifah (Awal Sengketa Politik Umat Islam)
Definisi paling umum: Khilafah adalah sistem pemerintahan yang dijalankan pada era kenabian Muhammad hingga masa 4 sahabat. Ini adalah yang khilafah versi awal atau original. Akan tetapi Sunni dan Syiah punya perbedaan pandangan soal siapa yang berhak jadi khalifah. Perbedaan inilah yang menjadi awal banyak persengketaan politik di kemudian hari.Menurut Sunni, negara bersistem khilafah dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat lewat "baiat" yakni ikrar kesetiaan atau dukungan. Penentunya adalah "shura" alias musyawarah umat. Dengan demikian konsep khilafah versi Sunni secara konseptual sebagian adalah salah satu bentuk demokrasi.
Sedangkan Syiah berpendapat bahwa khilafah ditentukan oleh Allah, melewati penunjukkan para ahlul bait. Pemimpinnya disebut dengan Imam. Secara konseptual, maka khilafah versi Syiah adalah teokrasi.
Menengok Sejarah Khilafah
Menengok kembali sejarah, sepeninggal Nabi, majlis shura saat itu membaiat Abu Bakar namun orang-orang di lingkaran Ali bin Abi Thalib tidak setuju. Ada detail sejarah yang saling berseberangan dari kedua pihak. Masing-masing punya versi sejarahnya sendiri. Kita umat jaman sekarang sukar menyelidiki secara komprehensif peristiwa itu karena terpisah oleh berabad-abad kekacauan penyampaian informasi. Jadi umat Islam telah terbelah dalam mendefinisikan khilafah: Sunni dan Syiah.Selain itu monarki yang dipelopori oleh clan Muawiyyah, menyebut penguasa dari mereka juga sebagai khalifah. Khalifah di sini berbeda dari versi jaman Nabi dan para khulafaur rasyidin (4 sahabat). Karena khalifah versi Muawiyyah adalah monarki, penunjukkan lewat keturunan. Akan tetapi khalifah versi inilah yang kemudian menjadikan kegemilangan dalam sejarah peradaban...tentu tidak lupa juga darah yang tumpah oleh mereka.
Secara teknis, bentuk negara khilafah versi Sunni untuk saat ini sudah tidak ada. Sedangkan Syiah (setidaknya versi Syiah Imam 12 yang paling populer), masa-masa imam sebagai pemimpin umat yang dipilih Allah sudah lewat dan mereka dalam fase menunggu apa yang disebut sebagai "imam mahdi". Iran sendiri berbentuk republik, sistemnya gabungan antara demokrasi dan teokrasi. Presidennya dipilih rakyat tapi tetap lewat persetujuan pemimpin tertinggi revolusi (maqām mo'azzam rahbari).
Sampe di sini sudah ada yang mulai gontok-gontokan soal sejarah mana yang benar?
Stop! Kalau masih ngeyel coba googling kata khalifah dengan kata "Mia". 👿
Pandangan Saya tentang Ide Khilafah
Pertama ...
Demokrasi sekuler berupaya memanage setiap "error in decision", agar selalu bisa ditimpakan pada manusianya. Jadi kalo ada yang salah dalam menjalankan sistem, yang dimintai pertanggungjawaban adalah manusianya. Dan dengan demikian tidak bisa seenaknya bawa nama Tuhan.
Lagian soal bawa nama Tuhan...mbok ya sejak mbah moyangnya Ibnu Muljam jualan kapak perimbas manusia sudah punya tabiat tidak satu suara meski dalam golongannya sendiri.
Kedua..
Mudharat dan manfaat. Seberapa menjamin kemakmuran akan jalan di bawah khilafah? Bagaimana menangani konflik? bagaimana menangani minoritas...dalam masyarakat heterogen?
Negara maju dan beradab dalam standar sekuler sudah banyak contohnya. Sedang khilafah hanya mengajukan contoh dari sejarah masa lalu yang sebenarnya itu juga bukan khilafah original. Ottoman Turki?...owww come on, Guys....Jaman dulu struktur masyarakatnya juga masih belum seberkembang sekarang. Sebagaimana kejayaan sekularisme berutang pada pemikir Islam yang memberi arah pada Rennaissance, kejayaan peradaban Islam pun berhutang pada warisan filsafat Yunani.
Ketiga...
Wacana khilafah, masih layak untuk digelar tapi dalam koridor akademik. Dalam wadah diskusi berbagai arah. Bukan kampanye underground yang mau ngganti dasar negara. Sama belaka dengan komunisme, masih bisa digelar dalam wacana akademik, dibedah dalam ruang-ruang kampus, forum diskusi filsafat. Tapi kalau bergerak secara underground membawa misi komunisme ke negara ya berarti itu makar.
Saya sadar. Semua tak bisa semudah itu. Sementara khilafah hanyalah utopia, komunis cuma berupa fosil sejarah. Dan kita memang paling takut sama simbol. Bendera historis Nabi yang di-hack sama IS pun sama menakutkannya dengan palu-arit.
Namun... simbol selain cuma representasi ide, juga bisa disalahgunakan sebagai kampanye pergerakan. Strategi yang sama juga dipakai dalam marketing. Jangankan Nike, Apple, Chanel...Betmen aja juga pake simbol buat nakut-nakutin lawan hehehe
Jadi.. NKRI (ya NKRI Bhineka Tunggal Ika, bukan NKRI syariah)...harga hidup!
(udah banyak yang mati demi NKRI soalnya)
-Gugun, seorang pelamun bebas-