Kakak dan saya dulu pernah mengamen dan memulung barang bekas, saya sekarang juga masih seorang pemulung buku bekas. Buat saya, pemulung barang bekas adalah pahlawan kebersihan, pemulung buku adalah pahlawan penyelamat dokumen, sementara pengamen adalah pahlawan kreatif yang memanfaatkan musik. Apalagi buat keluarga mereka. Dalam hal yang lebih umum, kita juga pada dasarnya adalah sama, pemulung dan pengais rezeki.
Pemulung dan Pengamen Dilarang Masuk? Salah Apa Mereka? |
Dan yang tak kalah penting, di sanalah akan kita temukan tindakan berbagi para dermawan yang menyentuh rasa. Walau sekelumit, saya telah merasakannya sendiri. Menjelang selesai kuliah, saya coba usaha kreatif untuk belajar menyambung hidup. Saya memulung kaleng bekas oli di bengkel-bengkel sepanjang jalan Bendungan Sutami, Malang, untuk saya jadikan cendera mata sebagaimana telah diajarkan kakak sejak SMA. Dan saat mengais di tong-tong di depan bengkel, para pemilik bengkel dengan penuh rasa kemanusiaan menemui saya menanyakan apa yang saya cari, kemudian menawarkan menyimpan kaleng-kaleng oli bekas nanti untuk saya, karena selama ini mereka biasa langsung membuangnya ke tempat sampah. Tidak terbayang sebelumnya, bahwa itu adalah lahan berderma bagi orang-orang yang sadar.
Sementara itu, yang dilarang adalah tindakan memulung sekaligus mencuri, dan mengamen sekaligus menodong. Dan mereka yang melakukannya kita sebut pencuri dan penodong, bukan pengamen dan pemulung. Kalau ada pencuri nyaru penjual sayur, tidak lantas kita larang orang berjualan sayur, bukan?
Tapi demikianlah dalam setiap masyarakat, ketakutan-ketakutan akan membuat aturan, dan oleh semakin banyaknya aturan yang kadang tidak masuk akal yang kita buat sendiri, kita terpenjara walau sekadar untuk mengais rezeki, kemanusiaan hilang, dus kita tidak akan merdeka, justru semakin terjerat oleh tali kekang aturan-aturan teknis kita sendiri, lupa substansinya.