Apakah "ilmu itu mahal" adalah ungkapan yang salah? Well, mahal itu memang identik jual beli, tetapi di balik ungkapan itu adalah sebuah penghargaan. Di mana pun, ilmu yang bermanfaat itu sangat dihargai. Dengan ilmu, kita bisa menolong orang, mencari nafkah. Dengan ilmu kita bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Maka ilmu yang bermanfaat juga dihargai sebagai amal yang kekal.
Penghargaan terhadap Ilmu
Bentuk penghargaan terhadap ilmu bermacam-macam. Yang punya ilmu alias maqam alim berhak memanfaatkannya ilmunya untuk usaha mencari nafkah, itu namanya profesi, misal pengusaha, dokter. Yang tekun bertanggung jawab dalam profesi dinamakan profesional, wong kerja atau maqam amil, orang yang mengamalkan ilmunya. Penghargaan yang akan ia terima bisa dalam berupa uang atau lainnya (amil zakat dihargai dengan jatah). Ada juga yang mengikhlaskannya cuma-cuma, itu juga haknya. Dia dinamakan orang mukhlis. Walau orang mukhlis tidak lagi mengharap imbalan, ia tetap akan dihargai juga dalam bentuk-bentuk lain, misal penghormatan, ketaatan padanya.
Dalam hal profesionalisme, diperlukan adanya akad yang jelas untuk menjamin penghargaannya, jika perlu tertulis. Akad yang berupa janji alias semaya juga tidak kuat, berisiko wan prestasi alias mblenjani janji yang akhirnya berujung kecewa. Jadi jika ada kekecewaan karena tidak adanya akad bisa jadi merupakan kesalahan kita sendiri. Semua orang telah tahu bahwa ilmu itu mahal harganya, tapi dalam profesionalisme, "kanca dhewe" harus dijabarkan dalam akad, walaupun akad itu nantinya adalah akad dengan harga "kanca dhewe". Kecuali memang amal ilmu kita ikhlaskan gratis, maka posisi kita adalah sebagai mukhlis. Dan maqam mukhlis memang dhuwur, ning tidak perlu menjelekkan dua yang lainnya.
(Pengertian alim - amil - mukhlis, othak athik gathuk wong ra ngerti alif bengkong)