Namanya Madrasah Diniyah Mambaul Hisan Hidayatul Mubtadi'in. Jaraknya hanya 80 langkah dari rumahku. Meski begitu, aku tidak diwajibkan oleh orangtuaku memasuki madrasah ini. Atas inisiatif sendiri, pernah beberapa kali kucoba masuk belajar di sana, tapi selalu tidak kerasan.
Sempat aku masuk di kelas awal (awwaliyah?) beberapa lama, hingga aku lumayan betah karena diajar Mbah Sayuti (dalam hubungan keluarga harusnya aku memanggilnya Mas, tetapi Mbah adalah panggilan penghormatan), karena aku hafal kebiasaan beliau yang selalu bermurah hati dengan memberi nilai bagus di pojok halaman buku. Semua murid punya buku berisi nilai itu, buku satu-satunya yang tiap hari harus dibawa. Kadang aku kangen lusuhnya buku yang tiap hari halamannya diisi dan dibolak-balik.
Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadin, Tawangrejo, Binangun, Blitar (foto: Wahid Hambali) |
Pada suatu saat, kalau tidak salah di hari-hari pertama aku mulai masuk, di awal kelas para murid dipanggil satu per satu. Lalu tibalah giliranku dipanggil. Sebelumnya aku telah berusaha memperhatikan jawaban teman-teman. Ada empat jawaban yang terekam olehku: hadir, hadirah, ghaib, ghaibah. Maka dengan sedikit pendengaran tadi, panggilan itu segera kujawab dengan keras, "Hadirah!"
Seluruh kelas tertawa, padahal aku tidak bermaksud melucu. Nampaknya ada yang salah dengan jawabanku. Aku masih ingat betul yang ketawanya paling keras adalah Ipin, anak Pak Nyoto. Merasa malu, aku memutuskan mrothol lagi. Belakangan baru kusadar kesalahanku memang lucu. Hahaha.
Pernah juga aku diajak seorang teman yang sudah masuk kelas tengah (wustha?). Hari itu aku menyelinap tanpa izin ke dalam kelas. Rupanya di sana nulisnya lebih rumit: Arab gandeng dan memaknai dengan Arab gundul! Aku pun menyerah, kemudian menyelinap keluar lagi, juga tanpa izin.
Dengan bermodal kesungguhan dan ketekunan, rata-rata anak dusunku dulu bisa menulis Arab, kecuali yang pemalas dan pemalu sepertiku. Tanpa keduanya, kita memang tak bisa belajar.