Obrolan di meja makan di suatu sore bersama dua orang teman sampai pada suatu topik pembicaraan yang membuat salah seorang teman itu tiba-tiba dengan tegas memunculkan pernyataan: "Krama inggil dari "tandha tangan" (ngoko) adalah "tapak asma", bukan "tapak asta", dan kemudian pernyataan tersebut segera diamini oleh teman satunya yang notabene penutur bahasa Jawa Tengahan. Yang menjadi masalah adalah dalam diri saya ini ada suatu
keganjilan: jika ada suatu pernyataan yang disampaikan
tegas oleh orang lain untuk meyakinkan diri saya, saya selalu meragukannya. Saya selalu merasa harus ada sumber kedua untuk membuat saya yakin. Skeptis, mungkin itulah kata yang menggambarkan keganjilan diri ini. Maka saya tertegun sejenak, kemudian memenung.
Saya teringat kembali kosakata itu memang yang termasuk selama ini mengganjal pikiran saya. Bagaimana tidak, tanda tangan adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan dalam hidup, mulai dari masa kecil hingga kini bekerja. Dan pada suatu siang di kantor, hampir secara bersamaan saya dan atasan saya menyebut kedua versi krama itu. Betapa kikuknya waktu itu! Maka mau tidak mau saya simpan juga pelajaran sore ini dengan catatan di blog ini.
Kalau saya tidak salah ingat, ayah saya dulu ketika masih menjadi ketua RW dan guru kadang menerima tamu yang meminta tanda tangan. Dari pembicaraan bisnis ayah itulah saya mengenal krama tanda tangan, karena suatu saat saya menanyakan istilah itu pada ayah saya. Dan sekali lagi kalau tidak keliru ingatan, jawaban beliau adalah "tapak asma" (nanti coba saya SMS ke beliau untuk mengonfirmasi jawabannya). Namun seiring logika saya yang ikut bermain, maka pada suatu waktu di masa dewasa ini, terutama dipicu kejadian dengan atasan saya di atas, saya cenderung memilih "tapak asta" yang benar walau saya tidak tahu mana yang benar-benar benar. Saya rasa kini momen yang tepat untuk mencari tahu dengan menelusurinya di beberapa sumber.
Berdasarkan penelusuran saya di Google, baik "tapak asta" maupun "tapak asma" sama-sama dipakai.
Saya teringat kembali kosakata itu memang yang termasuk selama ini mengganjal pikiran saya. Bagaimana tidak, tanda tangan adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan dalam hidup, mulai dari masa kecil hingga kini bekerja. Dan pada suatu siang di kantor, hampir secara bersamaan saya dan atasan saya menyebut kedua versi krama itu. Betapa kikuknya waktu itu! Maka mau tidak mau saya simpan juga pelajaran sore ini dengan catatan di blog ini.
Kalau saya tidak salah ingat, ayah saya dulu ketika masih menjadi ketua RW dan guru kadang menerima tamu yang meminta tanda tangan. Dari pembicaraan bisnis ayah itulah saya mengenal krama tanda tangan, karena suatu saat saya menanyakan istilah itu pada ayah saya. Dan sekali lagi kalau tidak keliru ingatan, jawaban beliau adalah "tapak asma" (nanti coba saya SMS ke beliau untuk mengonfirmasi jawabannya). Namun seiring logika saya yang ikut bermain, maka pada suatu waktu di masa dewasa ini, terutama dipicu kejadian dengan atasan saya di atas, saya cenderung memilih "tapak asta" yang benar walau saya tidak tahu mana yang benar-benar benar. Saya rasa kini momen yang tepat untuk mencari tahu dengan menelusurinya di beberapa sumber.
Berdasarkan penelusuran saya di Google, baik "tapak asta" maupun "tapak asma" sama-sama dipakai.
Panjebar Semangat
Majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat rupanya memilih "tapak asma". Dan ternyata memang majalah inilah yang dirujuk oleh teman saya untuk meyakini pernyataannya di atas.Grup Nguri-uri Basa Jawa
Menurut keterangan admin grup Nguri-Uri Basa Jawa di salah satu postingnya, yang betul adalah tapak asta, bukan tapak asma. Tapi di komentar selanjutnya ada pertanyaaan yang juga tak kalah menggelitik, yaitu: "Tapak asta itu apakah bukan krama inggil dari cap jempol/jari?"
Wikipedia Jawa
Ini keterangan akun MeurSault2004 di Wikipedia Jawa:
Nèk miturut Bausastra Pigeaud 1939 sing bener tapak-tangan utawa tapak-asta (=krama inggil). Dadi padha karo basa Indonesia.
Saya tidak dapat menemukan link bausastra Pigeaud di Google. Untuk selanjutnya, saya mengubek-ubek sastra.org. Situs ini selalu jadi rujukan utama saya untuk mencari kosakata bahasa Jawa.
Javaansch Woordenboek, Roorda, 1847, #16 (Bagian 07: Ta)
tapak asta, het spoor der hand, d.i. het werk van iemand.1933-04-12 - Prajakintaka kepada Gusti ... (Pengetan Radya Pustaka Surakarta, Radya Pustaka, c. 1923-75)
Buku ini menceritakan keadaan museum Radya Pustaka pada tahun 1923, antara lain susunan
anggota-anggotanya, ongkos pengiriman barang-barang kuna dari tempat
penemuan sampai ke Radya Pustaka, biaya tenaga angkut, pembahasan
di dalam mengadakan rapat dan sebagainya. Buku ini menggunakan "tapak asta." Contohnya adalah memo (?) berikut ini:
Ôngka 71.
Kawula nuwun gusti, asarêng punika kawula ngunjukakên anprah balônja wulan Mèi kasuwunakên tapak asta dalêm.
Kawula nuwun, kajawi punika sêratipun raka dalêm ingkang dhumatêng pangrèh suraos mundhut lèrèh, punika manawi wontên ing panjênêngan dalêm, punika kawula suwun, parlu badhe kangge prabot pandamêling wara-wara dhatêng warga, wusana mugi wontêna kaparêng dalêm maringakên dhatêng abdi dalêm ingkang ngunjukakên sêrat punika.
Konjuk kaping 12 April 1933.
Abdi dalêm pun Prajakintaka.
Bausastra Poerwadarminta (A dan Ta)
Di posting grup Sastra Jawa Gagrag Anyar di SINI kita temukan keterangan dari Ki Edy bahwa di Bausastra (kamus) Poerwadarminta yang benar adalah "tapak asta". Di posting ini juga Ki Djajoes Pete nampak berusaha mencari kepastian karena ada seorang teman lain menyebut "tapak asta" yang benar.
Keterangan Ki Edy tidak sepenuhnya benar. Di Bausastra Poerwadarminta tidak saya temukan lema tapak-asma, tapi di lema tandha-tangan saya temukan bahwa krama inggil istilah ini sama saja, tandha-asta maupun tandha asma.
asma: ki jênêng; diasmani ki. pc: ditèkêni.
asta: 1 ki. tangan; 2 êngg. k. lêngên; 3 kn. tangan kang ngisor (dianggo ukuran); 4 êngg. k. bau (ukuran jêmbar); di-[x] ki: 1 dicêkêl; 2 ditandangi, dicakake.
tandha-tangan: kn. -asma, -asta ki. 1 tèkên, parap; 2 layang katêrangan mawa tèkêning panggêdhe.
tapak-asta: ki. 1 tandha-tangan, tèkên; 2 lorodan (turahan pangan).
Kamus bahasa Sansekerta -bahasa Indonesia Wiktionary
tapak asta: tanda tanganSariné Basa Jawa, Padmasukaca, 1967, #139 (Hlm. 047-094)
Kitab ini berisi dasanama, nama-nama daun, bunga, biji, anak hewan, pakaian,
wayang, bebasan, saloka, sanepa, pepindan, candra, isbat, pralambang,
parikan, dsb. Buku inilah yang secara tegas menyatakan bahwa "jika ada yang menyebut tapak asma, itu keliru."
Tapak-asta Ki = tandha-tangan, uga atêgês: turahan pangan (lorodan). Sawênèh ana sing nêmbungake: tapak asma, iku luput.
Di sastra.org, umumnya yang dipakai adalah tapak asta. Dari sekian manuskrip yang saya telusuri, selain bausastra Poerwadarminta di atas, hanya satu yang saya temukan menggunakan istilah tandha asma. Oleh karena itu, saya sementara menyimpulkan "tapak asma" yang dipakai PS kemungkinan adalah gaya selingkung yang dipilih PS. Tetapi karena ini bukan sekadar masalah statistik lema sastra.org, kita perlu konfirmasi dari pihak-pihak yang punya otoritas yang memahami serta penutur asli bahasa Jawa, sebagaimana teman saya satunya yang dari Jawa Tengah dan ayah saya. Bagaimanapun juga, kedua istilah masih sering dipakai. Dan terutama karena saya juga tidak tahu mana yang benar, maka preferensi saya serahkan kembali ke pembaca +Tukar Cerita. Mudah-mudahan bermanfaat!
Sip, tapak asta sampun umum nggih
ReplyDelete