"My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins." Siapa yang mengatakan, kapan, dan di mana? Kutipan itu saya dengar beberapa hari yang lalu dari acara Indonesia Lawyers Club di TVOne yang mengambil tajuk "Presiden Milik Partai atau Milik Rakyat". Tajuk ini diangkat untuk membahas pernyataan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam pidato pembukaan Kongres IV PDI-P di Bali, Kamis 9 April lalu, sebagai berikut:
"Presiden memang sudah sewajarnya, dan sangat wajar, menjalankan garis kebijakan politik partai."
"Pada kader-kader partai yang ditugaskan di DPR, anggota fraksi PDI-P yang ditugaskan di pemerintah pusat, pemerintah tingkat 1 dan 2, yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan partai, ingat kalian adalah petugas partai, perpanjangan tangan partai! Kalau ada yang tidak mau disebut petugas partai, keluar!"
"My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins." Siapa yang mengatakan dan di mana?
Itu merupakan kata-kata dari Manuel L. Quezon, presiden Persemakmuran Filipina (1935 - 1944), dan tercatat sebagai presiden kedua Filipina (baca sejarah pembentukan negara Filipina). Ia merupakan orang Filipina pertama yang menjadi kepala pemerintahan Filipina.
Pada 1921, ia menjadi ketua Partai Nasionalis, menggantikan Sergio Osmeña, pendiri partai dan teman seperjuangannya untuk membangun karakter bangsa Filipina.
Pada 1922, Quezon menyuarakan "kepemimpinan kolektif" untuk menentang apa yang ia sebut sebagai "unipersonal leadership" atau "kepemimpinan tunggal" yang disokong oleh Osmeña. Konflik pun tak terhindarkan.
Pada sore hari 17 Februari, 1922, Quezon pecah kongsi dengan Osmeña dan partainya, dan di hadapan ribuan massa yang menyemut di Manila Grand Opera House pra-perang, Quezon menyatakan:
Pada 1921, ia menjadi ketua Partai Nasionalis, menggantikan Sergio Osmeña, pendiri partai dan teman seperjuangannya untuk membangun karakter bangsa Filipina.
Pada 1922, Quezon menyuarakan "kepemimpinan kolektif" untuk menentang apa yang ia sebut sebagai "unipersonal leadership" atau "kepemimpinan tunggal" yang disokong oleh Osmeña. Konflik pun tak terhindarkan.
Pada sore hari 17 Februari, 1922, Quezon pecah kongsi dengan Osmeña dan partainya, dan di hadapan ribuan massa yang menyemut di Manila Grand Opera House pra-perang, Quezon menyatakan:
"When one is convinced that the conduct of a party is no longer in consonance with the will of the people and does not respect the demands of public opinion, then no member is under any obligation to remain in that party."
"Saat kita yakin bahwa tindak-tanduk sebuah parti tidak lagi sejalan dengan kehendak rakyat, dan tidak menghormati tuntutan opini publik, maka tidak ada lagi kewajiban bagi anggotanya untuk tetap tinggal di partai itu."
Pada 24 Februari 1922, Quezon kembali menyatakan pendiriannya yang kini menjadi adagium yang sangat terkenal di kalangan politikus tersebut:
"I defended the party at least as much a stone(?) as nationalists done, and the most tight(?) in the world, unipersonalists. But the party never has been and never will be the people. My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins."
"Saya membela partai sekeras yang nasionalis lakukan, dan paling ketat di dunia, unipersonalis. Tetapi partai tidak pernah jadi dan tidak akan pernah menjadi rakyat. Kesetiaan saya pada partai saya berakhir saat kesetiaan saya pada negara saya dimulai."
Dalam sidang pleno ke-5 KNIP pada 25 Februari sampai dengan 6 Maret 1947, Bung Karno pun pernah mengutip adagium tersebut yaitu pada penghujung pidato pembukaan sidang, 25 Februari pukul 10 pagi. Berikut ini pesan yang disampaikan Bung Karno:
"Ingat, rakyat melihat kepada tuan-tuan, melihat kepada sidang ini! Dan ingat, mata dunia melihat pula kepada sidang ini! Sebagai tadi saya katakan: Jaga semangat persatuan bangsa. Jangan ada tampak retak sedikit pun di dalam tubuh bangsa ini. Mungkin ada pertikaian partai, mungkin ada tuntutan-tuntutan partai, tetapi utamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai. Amalkan: My loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins!"
Pada pukul 10 pagi 25 Februari 1947, Presiden Sukarno membuka sidang pleno ke-5 KNIP, di Malang. (foto: Tropenmuseum) |
Dus, tak berlebihan kiranya jika Phillips Vermonte, peneliti dari CSIS, mengingatkan kembali inti pesan itu, "Kalau sekarang Ibu Megawati bilang Jokowi dan Menterinya adalah pegawai partai itu sebenarnya adalah konstruksi (politik) yang bertolak belakang dengan paham demokrasi yang dimiliki Bung Karno semasa ia hidup."
Phillips juga mengemukakan bahwa Bung Karno akhirnya membubarkan partai politik di Indonesia pada 1959 dan membawa Indonesia pada sistem Demokrasi Terpimpin setelah situasi politik yang timbul pasca-pemilu 1955 cenderung tidak sesuai dengan nilai demokrasi presidensial yang digunakan Indonesia, yaitu demokrasi parlementer yang menekankan kuasa pada partai sementara presiden lemah.
*Karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan listening penulis, mohon koreksi jika ada kesalahan dalam tulisan di atas, khususnya transkrip pidato Quezon.
*Karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan listening penulis, mohon koreksi jika ada kesalahan dalam tulisan di atas, khususnya transkrip pidato Quezon.
Sumber:
- http://en.wikipedia.org/wiki/Manuel_L._Quezon
- http://en.wikipilipinas.org/index.php/Manuel_L._Quezon
- https://philippinesfreepress.wordpress.com/1961/08/
- https://nobodycorpfound.wordpress.com/2012/08/16/para-delegasi-perempuan-di-sidang-knip-1947/
- http://www.cnnindonesia.com/politik/20150411103513-32-45874/megawati-dinilai-tak-sepaham-dengan-presiden-soekarno/
- Dukut Imam Widodo. Malang Tempo Doeloe