Desy, gadis manis berseragam putih abu-abu itu berhenti di pinggir
jalan di depan pedagang kaki lima yang menjual aneka poster, stiker dan
majalah-majalah remaja. Matanya nanar mencari gambar sosok idolanya. Poster-poster dan majalah-majalah yang semula berjajar rapi di depannya dia acak-acak sampai berantakan, tetap tak ditemukan
gambar dan majalah yang diinginkanya.
"Maaf, Bang. Cari posternya Dude Harlino. Ada nggak?"
Sosok cowok itu tiba-tiba
menatap ke arah Desy dan melempar senyum yang sangat manis. Maniiiss sekali, kurma saja kalah manisnya. |
"Waduh,
jarang ada, Mbak. Sekarang yang lagi nge-trend posternya grup band Cherrybelle, Coboy Junior, 7icons. Kalo gambar artis paling Agnes Monica, Inul
Daratista. Ato kalo laki-laki, Eru dan Sule? Mau?"
"Iiih Abang. Yang aku cari gambar cowok ganteng, malah ditawari Sule?" kata Desy sedikit melebarkan bibirnya.
"Eee,
kata sapa Sule ga ganteng? Buktinya, posternya laris manis dibeli
wanita-wanita penggemarnya. Eh, Mbak nggak pernah nonton OVJ, ya?" sahut
penjual poster sambil mengangkat jari telunjuknya ditujukan pada Desy
seperti sedang meledek.
Desy memanyunkan mulutnya sambil berlalu
meninggalkan penjual poster itu. Ia terus berjalan menyusuri toko-toko
buku berharap menemukan gambar yang dia inginkan. Setiap ada deretan majalah
yang dipajang di sebuah lemari kaca, ia teliti satu persatu tulisan yang
ada di sampulnya. Sampai berapa lama...
Terbaca olehnya sebuah
majalah remaja yang memuat berita tentang Dude Harlino dengan judul
"Dude Masih Betah Menjomblo" dilengkapi bonus poster dan gambar-gambar
artis tersebut. Tanpa pikir panjang langsung disambar dan
segera dibayarnya majalah itu di kasir.
Setelah keluar dari toko buku tersebut, Desy langsung
pulang dengan angkot. Perjalanan pulangnya terasa masih jauh. Rasa lelah
membuat Desy tak sanggup menahan kantuknya. Diapun terlelap.
Suara kenek
yang cukup keras menyebut nama gang jalan menuju rumahnya membuatnya
terbangun sedikit geragapan. Setelah turun dari angkot, ia berjalan menuju rumah dengan
penuh semangat sambil tersenyum-senyum seperti membayangkan sesuatu. Dia
berjalan semakin cepat, nampaknya sudah tak sabar ingin segera membuka majalah
yang baru dibelinya itu. Sesampainya di rumah, sang ibu yang sesiang
tadi sudah menunggu anaknya pulang, kini berdiri di depan pintu.
"Desy,
sudah jam berapa ini? Kamu ingat kan hari Jumat pulang jam berapa? Dari mana
saja kamu jam segini baru pulang, hah!?" bentak ibunya dengan nada tinggi.
"Maafin
Desy, Bu. Eemm, gini. Desy pulang sekolah langsung pergi ke toko buku, Bu. Ada tugas bikin artikel, jadi Desy pergi beli buku sebagai bahan kutipan."
Desy menjawab dengan bibir gemetar karena sedikit berbohong. Baru kali
ini Desy membohongi ibunya.
"Aah, alasan kamu. Ya, sudah. Sana cepat pergi mandi, sebentar lagi Maghrib!"
Desy
langsung berlari ke kamar. Tanpa ganti baju, segera ia membuka tasnya
dan mencari majalah yang baru dibelinya tadi. Namun apa yang
terjadi? Seluruh isi tas ia keluarkan, buku-buku pelajaran ia acak-acak,
tasnya tak luput ia kebas-kebaskan, tetap tak ditemukan majalah itu. Ia
termenung sebentar, mengingat-ingat perjalanan dari toko buku sampai
rumah.
"Tadi aku nggak mampir kemana-mana lagi. Dari toko buku,
majalahnya aku pegang, terus aku langsung naik angkot. Angkotnya penuh
sesak sampai rumah. Mmm, terus .... Oh My God ...." gerutu Desy sambil
menjatuhkan dirinya di atas kasur. Desy baru tersadar ia tadi lupa menaruh majalah itu di dalam tasnya. Mungkin ini hukuman Tuhan karena telah
membohongi ibunya tadi. Padahal, hampir seharian ia berburu majalah itu.
Keesokan
harinya, Desy berangkat ke sekolah agak sedikit kesiangan. Ia tak
bersemangat pagi ini karena masih teringat majalahnya yang tertinggal di
angkot kemarin. Apalagi di dalam majalah itu terdapat bonus poster Dude
Harlino yang seharusnya sudah terpasang di lemari kayu kamarnya.
"Hei,
Desy. Kenapa wajahmu muram dan bibirmu manyun aja? Tak seperti biasa. Kayak orang baru putus cinta?" tanya Dewi teman sekelas Desy.
"Emang aku baru putus!" jawab Desy sekenanya saja.
"What??? Setahuku kamu kan lum punya cowok?"
"Putus sama majalah yang baru kubeli yang ada gambarnya cowokku!"
Gubrakkk!
Dewi hampir jatuh pingsan mendengar pernyataan Desy yang konyol
itu. Dewi tahu betul, sahabatnya itu memang fans berat artis ganteng
Dude Harlino. Ia pun tahu seluruh tembok kamar Desy penuh gambar-gambar Dude. Di kamar itu juga ada setumpuk koleksi majalah yang di dalamnya terdapat berita tentang Dude Harlino, hal yang
tak pernah luput dari incaran Desy. Bahkan Dewi masih ingat, Desy pernah
bersumpah "pun seandainya tak bisa memiliki Dude, tidak apa-apa. Tapi nanti
cowoknya harus mirip Dude. Kalau tidak, Desy tak mau punya pacar
selamanya.
Sepertinya sumpah Desy itu didengar Tuhan. Sampai sekarang
tidak ada cowok yang dekat dengan Desy. Sebenarnya bukan karena Desy tak
cantik lalu tidak ada yang suka. Sudah banyak cowok yang mencoba
mendekati Desy, tapi mereka tak pernah berhasil mendapatkan hatinya.
Desy
sosok gadis berambut panjang, berhidung mancung. Bola matanya bersih
bersinar. Sikapnya manis pada laki-laki yang mencoba mendekatinya. Semua itu adalah pesona kuat yang dimiliknya. Namun, kriteria cowok
idamannya seperti terungkap dalam sumpahnya itu nampaknya terlalu tinggi sehingga membuatnya sulit untuk mendapatkannya selama ini.
"Eh, besok kan hari Minggu. Kita nongkrong di mall, yuk?" ajak Dewi mencoba menghiburnya.
"Malas, ah. Lagi pengen di rumah aja".
"Udahlah. Barang yang sudah hilang nggak mungkin kembali lagi. Besok aku jemput, ya?"
Matahari
sudah mulai meninggi, tapi Desy belum juga beranjak dari tempat
tidurnya. Selimut tebal masih menutupi seluruh tubuhnya kecuali
kepalanya saja yang terlihat.
"Masya Allah, Desy?! Kamu itu perempuan. Jam segini belum bangun, mau jadi apa kamu nanti, hah? Ayo bangun, bangun!" Ibunya
datang ke kamarnya dan segera menarik selimut yang menutupi tubuhnya.
Sambil mengucek mata, Desy menguap lebar, tanda ia masih malas untuk
bangun. Dengan tubuh gontai, ia merapikan tempat tidur dan langsung
menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu diketuk.
"Tante, Desy ada?"
"Oh, masuk Nak Dewi. Dia baru bangun, sekarang masih mandi. Mau pergi kemana, kok cantik sekali?"
"Ah, Tante bisa aja. Cuma pengen ngajak Desy jalan-jalan, Tante. Soalnya,
kemarin Desy kelihatan badmood di sekolah. Boleh kan, Tante?"
"Iya boleh. Tau tuh, anak emang kadang aneh sikapnya. Ya udah, ditunggu ya. Tante mau lanjutin masak."
"Ayo, segera ganti baju. Dandan yang cantik. Kita jalan-jalan hari ini." ajak Dewi.
"Dah dibilang aku lagi pengen di rumah aja, kok."
"Ayolah. Sapa tau hari ini kamu ketemu cowok mirip Dude di mall. Ya, kan?"
"Ah, bisa aja kamu ngrayunya. Ya udah deh. Tunggu bentar, ya?"
"Lama juga nggak pa-pa, kok. Hehehe."
Mereka
pun pergi dengan mengendarai sepeda motor matic menuju mall. Setelah memarkirkan sepeda motor, mereka segera cuci mata ke dalam melihat-lihat baju
yang terpajang.
Aneka model baju sudah dicoba, namun belum ada yang pas
di hati Desy. Ada satu model baju yang coba dipakai Desy di kamar ganti, tapi lagi-lagi ia merasa belum cocok, jadi dia kembalikan baju itu ke
tempat semula. Tiba-tiba mata Desy tertuju pada sosok cowok yang sedang
memilih-milih kaos di seberang sana.
"Wi, sini deh. Apa aku ga salah liat?"
"Sapa sih yang kamu lihat? Sampe ga kedip gitu?" Dewi celingukan ikut penasaran.
"Itu tu, cowok pake kemeja krem. Yang lengannya dilipat ke atas, mirip Dude, kan?"
"Emm, yang mana sih?" mata Dewi mencari sosok yang dimaksud Desy. "Oooh, itu?"
"Ya, kan dia mirip Dude?"
"Mmm. Lumayan mirip sih, tapi dikit."
"Duh, kenapa jantungku jadi deg-degan gini, ya?"
"Ah, kamu lebay deh. Dia kan cuma sosok yang hampir mirip Dude? Masa langsung jatuh cinta?"
"Aku kan pernah bilang aku pengen punya cowok yang mirip Dude. Nah, ini kesempatan!"
"Terus kamu mau samperin dia, gitcuuh?"
"Ya, aku akan beranikan diri kenalan sama tuh cowok. Sapa tau dia lum punya cewek."
Ih,
gila! Dewi tak habis pikir sampai segitukah pengorbanan Desy demi
mendapatkan cowok yang dia idolakan. Dengan penuh semangat, Desy beranjak
dari tempatnya hendak menuju sosok cowok itu. Segera Dewi menyambar
tangan sahabatnya yang sedang terpanah Si Cupid itu.
"Eeh tunggu. Inget say! Kamu tu cewek. Masa mau nyamperin cowok dulu? Apalagi lum pernah
kenal sebelumnya. Inget dong, harga diri." cegah Dewi melihat kenekatan
Desy yang terburu-buru itu.
Tatap matanya tak pernah lepas dari
sosok cowok yang mirip Dude Harlino itu. Sosok cowok itu tiba-tiba
menatap ke arah Desy dan melempar senyum yang sangat manis. Maniiiss
sekali, kurma saja kalah manisnya.
"Wi, liat tuh. Oh, Tuhan."
Dewi kaget melihat tubuh Desy yang tiba-tiba lemas seperti mau pingsan.
"Eeh, kamu kenapa? Ayo kita cari tempat duduk sana." ajak Dewi setengah menyeret tubuh yang setengah lunglai itu. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada sebuah Cafe. Mereka duduk di lounge-nya dan memesan minuman.
"Kamu dah baikan, Des?"
"Ya, aku gak pa-pa kok. Cuma kaget aja dia senyum ke arahku. Aku jadi ke-GR-an. Terus, kemana cowok tadi?"
"Tuh, di belakangmu. Sepertinya dia menuju ke sini."
Desy
sontak menoleh ke belakang, jantung Desy berdegup semakin kencang
ketika melihat cowok itu berjalan dengan penuh pesona menuju ke arah
mereka. Ternyata memang benar, sosok cowok mirip Dude itu sedang menuju
Cafe tempat mereka duduk!
Cowok itu memesan minuman di kasir dan duduk di meja yang bersebelahan dengan meja mereka.
Desy terpaku, diam tak
bergerak tak berkedip menatap cowok itu. Dewi menepuk bahunya sehingga ia
pun tersadar dengan wajah yang segera menunduk, seperti menyembunyikan rona wajahnya
yang memerah karena menyimpan suatu hasrat yang tak terbendung. Dia
mencoba menahan diri supaya tak terlihat nervous di depan cowok itu.
Melihat tingkah laku sahabatnya, Dewi merasa geli. Sosok secantik Desy
bisa terpesona dengan cowok yang mirip dengan Dude itu.
Saking gemetaran,
tangan Desy tak sengaja menyenggol minuman yang ada di atas meja. Suara
riuh gelas jatuh pun tak terhindarkan lagi. Betapa malunya Desy dengan
kejadian itu. Namun tanpa diduga, justru cowok itu malah nyamperin meja
Desy!
"Kamu gak pa-pa?" suaranya yang lembut menjadi pesona tersendiri bagi Desy.
Tak
lama, mereka saling bertatap mata. Desy semakin mati gaya, dia tak
sanggup bicara sepatah kata pun. Bibirnya terasa terkunci, tenggorokanya
seperti tersekat. Lalu cowok itu kembali tersenyum dan berlalu pergi
setelah menghabiskan sisa minuman pesanannya.
"Tunggu ...." tiba-tiba Desy berteriak memanggil cowok itu.
Dia menoleh dan kembali ke meja Desy.
"Kamu panggil aku?" kata cowok itu.
"Ya! Aku hanya ingin tau namamu?" Desy mencoba beranikan diri berkenalan
dengan cowok itu. Dia tak mau lagi menjual mahal harga dirinya karena ia tak mau
kehilangan kesempatan seperti ia kehilangan majalah kemarin lusa.
"Okey, namaku Jody, senang kenal cewek pemberani seperti kamu."
"Aku Desy. Ini temanku, Dewi."
Lalu
mereka saling berjabat tangan. Getaran hangat ia rasakan setelah
menyentuh tangan cowok itu. "Mungkinkah itu sinyal asmara?" batinnya.
Dewi tiba-tiba saja menyeletuk, "Namamu Jody, bukan jomblo ditinggal mati, kan?"
Setelah sejenak ragu, cowok itu segera menjawab, "Kebetulan syair lagu itu sesuai dengan nasibku, dan memang itu nama yang diberikan ortuku."
Setelah
bertukar nomor telepon kemudian mereka berpisah. Sepertinya Desy masih
punya harapan bisa dekat dengan Jody setelah mendengar pernyataan cukup tak ternyana yang
keluar dari ucapannya tadi.
Beberapa hari berlalu setelah kejadian
itu, dan ternyata memang mereka semakin dekat dan nampak cocok satu sama lain. Jody
benar-benar mendekati sosok idola Desy. Senyumannya, bahasa tubuhnya,
dan tutur katanya mirip Dude Harlino. Dan itu membuat Desy semakin jatuh
cinta. Namun, tak juga mereka jadian itu karena Desy masih menjaga gengsi. Dia tak mau nembak duluan. Bahkan ia bertekad akan setia menanti pernyataan cinta keluar terucap dari Jody.
Hari berganti bulan. Tak terasa hubungan mereka
sudah sampai empat bulan lamanya, tetapi belum ada status yang jelas alias
mengambang. Desy sudah mulai bosan dengan sikap Jody yang kurang tegas. Hubungan teman bukanlah apa yang diinginkan Desy. Ia berharap lebih dari itu, tetapi
Jody tak pernah menembaknya.
Apakah dia yang harus mendahuluinya
mengorbankan harga dirinya untuk yang kedua kalinya? Perasaan Desy
berkecamuk. Sampai kapan akan seperti ini? Apakah sosok cowok yang mirip
dengan idolanya itu benar-benar tidak mencintainya dan hanya ingin
mempermainkan perasaanya saja? Perasaan kagum dan rasa ingin memiliki
yang terlalu besar itu justru malah semakin menyiksa batinnya. Gila! Ya,
Desy benar-benar tergila-gila sosok Dude Harlino.
TAMAT
*Cerita ini hasil karyaku ketika di SMAN 1 Kesamben dulu tahun 2000. Aku masih mengingat kisahnya, dan aku berusaha menuliskannya kembali di sini. Klik like dan share jika kalian menyukainya.
Sumber foto ilustrasi: filmketikacintabertasbih.com