Anda pernah menonton film Histeria? Film ini menceritakan sebuah fenomena yang yang terjadi pada wanita, yaitu histeria yang akhirnya melatarbelakangi aplikasi penemuan vibrator sebagai alat pemijat daerah (maaf) genital untuk 'menyembuhkannya'. Saya menggunakan tanda kutip pada kata 'menyembuhkan' karena histeria dianggap sebagai penyakit yang memerlukan treatment sebagaimana yang ditampilkan dalam film yang berlatar belakang Era Victoria akhir abad ke-19 ini sebelum akhirnya pada 1952 American Psychiatric Association menghapus istilah ini. Di luar dari istilah dan latar belakang sejarahnya yang kontroversial tersebut, film yang ini bagi saya cukup unik dan membuka pemahaman saya sejengkal lebih jauh mengenai wanita khususnya perjuangan feminis klasik dan emosi yang berkaitan dengan latar belakang sosialnya serta istilah-istilah baru yang masuk dalam kamus kosakata saya yang semua itu disajikan dalam komedi yang romantis.
Saya tak hendak membahas lebih jauh tentang film Histeria di atas, tapi hanya untuk mengawali bahasan sebuah istilah yang juga baru buat saya, yaitu frenologi yang notabene juga sama kontroversialnya dengan istilah histeria. Salah satu tokoh dalam film tersebut, yaitu Emily, digambarkan menguasai frenologi, sebuah pengetahuan yang berupaya menguak hubungan antara struktur tengkorak manusia dengan karakternya.
Penerapan frenologi, yang pada akhirnya dipandang sebagai pseudoscience yang telah ketinggalan zaman, berkembang pada Era Victoria seiring dengan moleosophy (ramalan berdasarkan tanda-tanda yang ada pada tubuh kita) dan anthroposcopy (seni menguak atau menilai karakter, kegemaran, dan kecenderungan manusia dari ciri-ciri yang nampak/terlihat.)
Frenologi ini kemudian memiliki pengaruh terhadap studi tentang evolusi, antropologi fisik, dan kriminologi khususnya yang dilakukan oleh Cesare Lombroso. Dengan menggunakan konsep yang diambil dari fisionogmi, penilaian karakter seseorang berdasarkan tampang/fisik luar seseorang, Lombroso mengeluarkan teori antropologi kriminalnya yang menyebutkan bahwa orang jahat dapat diidentifikasi dari cacat fisiknya. Teori inilah yang oleh Nietzsche diparafrase dalam adagiumnya yang terkenal "monstrum in fronte, monstrum in animo" (yang berwajah buruk, hatinya pun buruk) dalam Twilight of the Idols. Lombroso percaya bahwa reo nato (yaitu orang yang terlahir sebagai kriminal) dapat diketahui dari ukuran anatominya. Pengukuran dimensi tubuh manusia ini disebut antropometri yang berperan penting tidak hanya pada kriminalitas, tetapi juga desain pakaian, arsitektur dan mungkin yang terbaru adalah ergonomi (ilmu tentang perancangan interaksi pengguna dengan alat kerjanya sehingga nyaman untuk pengguna, contoh rancangan meja komputer disesuaikan dengan postur tubuh kita).
Antropometri dalam Kriminologi dan Forensik
Adalah seorang pejabat polisi Perancis bernama Alphonse Bertillon yang kemudian pertama kali menerapkan antropometri dalam penegakan hukum, yaitu untuk mengidentifikasi residivis (penjahat kambuhan). Sebelum adanya sistem ini, Sistem yang kemudian dikenal dengan nama "Bertillonage" (mengadopsi nama penemunya) ini dibuat berdasarkan temuan bahwa beberapa pengukuran ciri-ciri fisik, seperti dimensi struktur tulang dalam tubuh, menunjukkan nilai yang cukup konstan sepanjang usia dewasa manusia. Bertillon akhirnya menyimpulkan bahwa jika pengukuran-pengukuran ini dibuat dan direkam secara sistematis, setiap individu dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Sistem ini melibatkan sepuluh pengukuran, yaitu: (1) tinggi, (2) jangkauan (panjang mulai dari bahu kiri hingga jari tengah tangan kanan yang direntangkan), (3) dada (torso mulai kepala hingga pantat bagian bawah saat duduk), (4) panjang kepala (ubun-ubun hingga, (5) lebar kepala (dari pelipis kanan hingga pelipis kiri), (6) lebar pipi, (7) panjang telinga kanan, (8) panjang kaki kiri, (9) jari tengah, dan (10) hasta (siku tangan hingga pucuk jari tengah).
Sistem ini segera diadopsi sebagai metode kepolisian untuk menghindari peniruan identitas (tindak kejahatan dengan berpura-pura menjadi orang lain) dan dapat menunjukkan pelanggaran. Inggris pun ikut menggunakan metode ini dengan tambahan sistem identifikasi sidik jari yang ditemukan oleh Francis Galton, keponakan Charles Darwin, yang tertarik pada antropologi dan telah mempelajari sidik jari selama sepuluh tahun.
Pada akhirnya Bartilonnage tergantikan oleh sistem sidik jari yang oleh Galton dihitung lebih akurat hingga peluang "false positive" (dua orang memiliki sidik jari yang sama) adalah sekitar 1 dibanding 64 milyar. Meskipun demikian, kontribusi Bertillon yang lainnya seperti teknik pengambilan foto pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan mug shot serta sistematisasi fotografi tempat kejadian perkara masih bertahan hingga kini.
Menampakkan Telinga Saat Foto KTP
Membuka jilbab saat pengambilan foto |
Untuk hal-hal lebih teknis mengenai antropometri, biometri, dan yang berhubungan dengan itu, silakan Anda merujuk pada blog Pak Mursyidin yang cukup detail membahasnya.