Berselancar di internet membuat saya menemukan hal-hal menarik untuk saya renungkan. Salah satu contohnya adalah buku yang berjudul sama dengan judul artikel saya ini, The Paradox of Choice: Why More Is Less.
Ya, buku karangan seorang psikolog bernama Barry Schwartz ini membahas paradoks yang terjadi pada masyarakat kita sekarang yang dipenuhi dengan segala fasilitas dan teknologi untuk memudahkan dan mengatasi segala permasalahan, namun di sisi lain juga menimbulkan masalah lain yang tak kalah peliknya. Hal ini menjadi salah satu misteri terbesar dalam kehidupan modern ini yang menarik buat saya untuk sekadar mencoretkan sebuah tulisan di sini.
Ya, buku karangan seorang psikolog bernama Barry Schwartz ini membahas paradoks yang terjadi pada masyarakat kita sekarang yang dipenuhi dengan segala fasilitas dan teknologi untuk memudahkan dan mengatasi segala permasalahan, namun di sisi lain juga menimbulkan masalah lain yang tak kalah peliknya. Hal ini menjadi salah satu misteri terbesar dalam kehidupan modern ini yang menarik buat saya untuk sekadar mencoretkan sebuah tulisan di sini.
Sebelumnya jujur saja saya katakan bahwa saya tidak membaca buku yang dia karang pada 2004 tersebut. Namun, saya semata menyimak video presentasi Schwartz di TED.com. Pada presentasinya tersebut, Schwartz memaparkan kita kini tengah menyaksikan masyarakat yang berada dalam kondisi depresi. Menurutnya, pilihan yang tak terbatas sekarang ini justru melumpuhkan segala yang ada. Jika bijak bestari Barat membuat adagium free of choice dengan landasan berpikir bahwa semakin banyak pilihan akan membuat manusia semakin sejahtera, maka Schwartz meyakini yang sebaliknya: setelah meneliti dan mengumpulkan bukti, Schwartz menyimpulkan bahwa begitu melimpahnya pilihan yang ada di dunia Barat sekarang ini justru membuat masyarakatnya semakin menderita.
Dalam video tersebut, Schwartz mencontohkan beberapa bukti nyata kondisi yang diderita masyarakat akibat pilihan tanpa batas yang mereka jadikan pegangan hidup, khususnya dalam masyarakat kapitalis sebagaimana halnya di Indonesia ini.
Adakah HP Standar yang Tanpa Fitur Macam-Macam?
Seperti menyindir keputusan saya membeli Nokia 206, Schwartz mencontohkan betapa sulitnya bagi kita sekarang ini mencari HP yang punya fasilitas normal saja (bukankah fungsi HP untuk menelepon, dan SMS mungkin?). Ya, saking banyaknya aplikasi Android, saya dan beberapa teman bahkan akhirnya balik mencari HP standar dengan fasilitas minimal dan menyimpulkan bahwa simplicity rules! Lebih parah lagi, saking susahnya mendapatkan fasilitas standar yang saya minta itu, pelayan tokonya justru menawari saya HP dengan fasilitas yang lebih dari yang saya minta. :D
Konsumerisme: Sejauh Apa Anda Dibingungkan oleh Tawaran Barang di Mall
Contoh demi contoh lainnya juga tak pelak menyinggung bagian kehidupan sehari-hari saya. Dalam hal penderitaan akibat perilaku belanja masyarakat yang dicontohkan Schwartz, saya pun merasakannya sendiri. Mulai terbiasa dengan supermarket, saya sering kebingungan memilih berbagai tawaran yang kelihatan sama, menarik saya untuk membelinya. Kadang saya memutuskan (dengan berat hati karena saking menariknya tawaran) untuk tidak membeli barang-barang tersebut. Dan di saat lain ketika saya memutuskan untuk membelinya, aneh sekali ternyata sesampai di rumah saya merasa barang tersebut rendah mutunya dan saya menyesal telah membelinya. Ya, saya tidak menampik bahwa ini mungkin sekali itu berkaitan dengan daya beli saya. Tetapi setelah menyimak penuturan Schwartz di video itu, saya yakin bahwa saya juga menjadi korban The Paradox of Choice ini.
Kesehatan: Apa yang Sebaiknya Bisa Dilakukan oleh Pasien
Contoh selanjutnya, yaitu tentang perilaku kesehatan, juga menohok nurani saya. Suatu saat ketika anak saya mengalami sakit, saya memutuskan untuk mengobatkannya ke dokter di rumah sakit swasta, dengan pertimbangan dan harapan fasilitasnya lebih lengkap dan penanganannya lebih baik jika dibandingkan terima ke puskesmas yang sebenarnya gratis. Sesampai di rumah sakit, dokter mengatakan anak saya banyak mengeluarkan banyak sel darah putih. Saya bertanya pada dokter, "Apa yang sebaiknya dilakukan, Dok?"
Dokter menjawab, "Anda bisa melakukan rawat jalan, dengan risiko masa penyembuhan bisa jadi lebih lama. Atau, Anda bisa memilih rawat inap dengan risiko Anda harus menemani anak Anda selama perawatan."
Dua pilihan yang menyiksa. Oleh karena itu saya pasrah, "Sebaiknya bagaimana, Dok?"
"Hmm, terserah Bapak. Kalau dirawat inap, lebih cepat sembuh." jawab dokter.
"Lakukan yang terbaik saja, Dok." ucapku pasrah kemudian kami putuskan untuk rawat inap yang membutuhkan tiga hari untuk penyembuhan anak saya itu.
Meski seperti memberikan solusi, sebenarnya apa yang dikatakan oleh dokter tersebut adalah benturan otoritas antara dokter dan pasien yang terjadi di masyarakat sekarang ini. Penentuan nasib sendiri ini nampak baik, tapi yang sebenarnya terjadi menurut Schwartz adalah peralihan beban dan tanggung jawab atas pengambilan keputusan dari seorang yang yang menguasai permasalahan, yaitu dokter, ke seseorang yang tidak tahu apa-apa yaitu pasien.
Masa Depan: Haruskah Saya Menentukan Hidup Saya Sendiri?
Contoh terpenting yang disampaikan Schwartz menurut saya adalah kebebasan memilih gender. Kenyataan yang ada bahwa sekarang ini para orangtua telah banyak yang menyerahkan pilihan dan keputusan penting dalam hidup ini pada anak-anaknya. Demikian pula dalam menentukan masa depan selanjutnya, semua beban pilihan yang tak terbatas telah diserahkan pada individu. Semua itu pada akhirnya membuat Barry Schwartz mengambil kesimpulan bahwa ini tidak sepadan dengan derita yang kita alami saat kita menerima semua kebebasan pilihan ini.
Kesimpulan: Pilih-Pilih Tebu
Demikianlah manusia mengalami penderitaan-penderitaan yang belum pernah dialami sebelumnya. Beban itu ternyata mengiringi setiap tawaran kebebasan dan pilihan manusia, baik yang bersifat pribadi, dalam hal pekerjaan, maupun dalam hal materi, mirip wabah yang semakin membuat manusia menjadi depresi. Ketidakterbatasan akan pilihan telah menguras psikis manusia, menggiring kita untuk meraih harapan muluk-muluk yang kemudian akhirnya meruntuhkan kebahagiaan.
Semua itu membuat saya teringat peribahasa orang desa saya: "Pilih-Pilih Tebu". Peribahasa ini berawal dari susahnya memilih tebu yang baru saja panen di sebuah perkebunan. Saking banyaknya batang tebu yang baru saja di tebang itu, seringkali orang yang sudah memilih batang tebu yang dianggapnya paling bagus ternyata sesampai di rumah mendapati tebunya tidak seberapa bagus. Tebu yang sudah kita lihat bagus bagian luarnya pun ternyata di bagian dalam masih ada kemungkinan busuk di bagian dalamnya. Jika sebagian ruas baik, ternyata ruas lain boleng (berlubang dimakan ulat). Akhirnya orang tersebut menyesal mengapa tidak memilih batang tebu lainnya. Peribahasa "pilih-pilih tebu" mengingatkan kita bahwa semakin banyak pilihan seringkali membawa kita pada hasil yang tidak kita inginkan dan oleh karena itu kita harus bijak menyikapinya. Kesalahan karena banyaknya pilihan haruslah disikapi dengan wajar.
Selamat datang di dunia pilih-pilih tebu!
Semua itu membuat saya teringat peribahasa orang desa saya: "Pilih-Pilih Tebu". Peribahasa ini berawal dari susahnya memilih tebu yang baru saja panen di sebuah perkebunan. Saking banyaknya batang tebu yang baru saja di tebang itu, seringkali orang yang sudah memilih batang tebu yang dianggapnya paling bagus ternyata sesampai di rumah mendapati tebunya tidak seberapa bagus. Tebu yang sudah kita lihat bagus bagian luarnya pun ternyata di bagian dalam masih ada kemungkinan busuk di bagian dalamnya. Jika sebagian ruas baik, ternyata ruas lain boleng (berlubang dimakan ulat). Akhirnya orang tersebut menyesal mengapa tidak memilih batang tebu lainnya. Peribahasa "pilih-pilih tebu" mengingatkan kita bahwa semakin banyak pilihan seringkali membawa kita pada hasil yang tidak kita inginkan dan oleh karena itu kita harus bijak menyikapinya. Kesalahan karena banyaknya pilihan haruslah disikapi dengan wajar.
Selamat datang di dunia pilih-pilih tebu!