Belakangan ini ketika blog +Tukar Cerita sudah mulai berkembang, saya melihat adanya persaingan tidak
sehat yang sedang terjadi di dunia blogging. Di antara kesalahan itu adalah tentang copas (sarek atau salin rekat), link (tautan), dan rewrite (penulisan kembali).
Kekeliruan #1: Arti Sumber Referensi
Ini adalah kekeliruan memahami arti sumber. Untuk mudahnya kita ambil analogi kita mengambil air di sungai Brantas untuk air minum. Tidak peduli berapa banyak kita mengambil airnya, yang jelas kita sudah melakukannya dan menikmatinya.Jika kita menyebutkan "saya mendapatkan air ini di suatu sungai yang berair jernih, panjang berliku, berarus tenang, ...." tanpa menyebut Brantas, itu berarti kita tidak mau menyebutkan sungai Brantas sebagai sumber air minum kita. Begitu juga dengan artikel, apalagi jika sumber itu adalah sumber satu-satunya kehidupan kita (sumber referensi satu-satunya asal ide tulisan artikel kita dapatkan). Semudah itu permasalahannya.
Oleh karena itu, jika kita menemui redaksi sebuah artikel yang berbelit-belit seperti "saya menemukan sebuah blog milik teman blogger lain", itu artinya penulisnya tidak mau menyebutkan blog referensi tempat dia mengacu, yaitu sumber primer. Dan ini adalah yang terjadi yaitu ketika seorang penulis artikel berbelit-belit mirip ular mengambil sumber dari artikel saya mengenai masalah Mengapa Widget Google+ Follower Tidak Muncul.
Berbeda dengan saya yang tidak menyebutkan narablog tersebut di sini untuk merahasiakan nama baiknya, dia justru merahasiakan/menyembunyikan sumbernya (yaitu blog +Tukar Cerita ini) demi kebaikannya sendiri. Setidaknya ada dua alasan mengapa blogger jarang menyebutkan link referensinya dan memilih menari ular, yaitu:
- Takut jika menyebut link sumber akan menyebabkan traffic yang dia peroleh dari artikel tulisannya bisa pindah ke arah sumber referensinya. Hal ini bisa dianggap ingin enaknya sendiri, padahal di satu sisi dia mendapatkan traffic tersebut juga karena sumber referensinya. Akibatnya, tindakan ini bahkan bisa menyedot traffic link sumber, lebih-lebih apabila penari ular itu pintar mengoptimasi blognya.
- Menyebut link dianggap berimbas atau mencederai kecepatan loading blognya. Ini juga mau enaknya sendiri. :D
Kekeliruan #2: Link Referensi Dicantumkan Hanya Apabila Copas Keseluruhan
Yang jelas, mengacu (refer) sumber itu tidak hanya ketika kita menyampaikan copas keseluruhan atau kutipan saja, tetapi juga ide dan teori. Kita akan lebih mudah mengamatinya dalam bidang ilmiah. Misalnya Anda menulis kesimpulan bahwa E = m . c², maka yang lain akan tahu dan segera mengoreksi bahwa ide itu sebenarnya berasal dari Einstein. Yang perlu diketahui, menyebutkan link itu tidaklah berarti Anda terkesan meniru. Justru dengan meminta izin dan menyebut link itu akan membuat Anda dihargai oleh penulis aslinya. Begitulah yang seharusnya. Sayangnya, di dunia internet kita sering kebingungan tentang sumber suatu tulisan saking banyaknya informasi yang beredar (badai informasi). Hal-hal remeh seperti modifikasi widget di atas pasti luput dari perhatian, kecuali mungkin akan diketahui jika dibaca oleh penulis aslinya. Itulah yang sering dimanfaatkan blogger untuk membuang tautan referensinya lalu menari ular alias berkelit-belit.Kekeliruan #3: Artikel Rewrite Tak Perlu Mencantumkan Link Sumber
Ini sebenarnya juga keliru. Artikel rewrite maupun terjemahan juga perlu menyebutkan sumber referensinya. Coba Anda perhatikan di koran-koran dan media cetak, artikel semacam ini pasti ditutup dengan penyebutan sumber berita itu diperoleh.Sumber referensi Kompas versi cetak, Rabu 15 Januari 2014 |
Artikel-artikel versi online pun sekarang tetap mencantumkan seperti versi cetak, hanya saja nampaknya gaya penulisan versi cetaknya terbawa hingga di dunia maya ini (versi online), yaitu versi link mati :D. Saya sendiri tidak tahu, apakah memang seperti itu kode etik penyebutan sumber berita ataukah sama dengan kedua alasan keengganan blogger di atas. :D
Kesimpulan
Ini adalah masalah preferensi setiap penulis atau narablog. Ada yang memilih melakukan aksi ular berkelit itu, ada pula yang tetap bisa mengolah kata dengan baik tanpa menghilangkan referensinya. Semuanya berpulang kepada pilihan kita.Saya sendiri memilih berusaha mencantumkan sumber acuan saya, khususnya bila berkaitan dengan solusi atau ide termasuk review (ini alasan saya menaruh link support ponselmu.com dan id-android di footer blog ini saya berikan karena saya kadang mengcopas dari keduanya), apalagi jika sumber itu adalah sesama blogger. Ada pepatah dari benua Amerika sana yang muncul dari seorang ahli bernama Joshua yang mengatakan: "Jeruk kok minum jeruk?" Artinya, jangan sampai tega merugikan sesama. Jika ini terjadi sesama blogger, yang terjadi adalah seperti di atas: Mbulet Dot Kom. Itu juga membuat logika penari ular terbalik-balik sampai mengatakan: "Jika Anda tidak ingin artikel Anda dibaca orang dan diambil pengetahuanya, lebih baik tidak membuat artikel." untuk menjustifikasi tindakannya itu benar. Ya, setidaknya mencantumkan link mati-lah. Kata orang Jawa: "Ngono ya ngono ning ya aja ngono!" Berbuat demikian tidak mengapa, namun juga jangan seperti itulah! :D
Tidak, saya tidak ingin seekstrim penari ular itu, saya cukup senam jari saja. Oleh karena itu jika kita menemukan hal-hal kurang dari teman kita, justru sebaiknya saling mengingatkan. Bukankah yang bagus itu justru saling me-refer (memberi tautan link yang relevan)? Sama halnya dengan saya, jika pembaca mendapati artikel tulisan Anda dicuri idenya di +Tukar Cerita, mohon dikoreksi dan dibetulkan. Jika dengan diskusi yang nyaman, dengan senang hati saya akan memperbaikinya. Sekali lagi, jangan sampai "jeruk minum jeruk". Selamat ber +Tukar Cerita !
Baca tulisan terbaru mengenai copas di: Cara Mengatasi Blog yang Dicopas