Ini adalah lanjutan tulisan ‘Ratu Adil’: Gegar Budaya dan Peradaban, wacana Ki Sondong Mandali yang disampaikan kepada panitia sarasehan dengan tema:
“Peran Media dalam Memasyarakatkan Fenomena Ratu Adil' yang diselenggarakan di Aula Gedung
‘Suara Merdeka’ Semarang, pada hari Sabtu, 22 Maret 2008. Tulisan ini diposting di sini atas izin beliau.
Wayang, Internalisasi Cita-cita Bernegara Orang Jawa
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa
berabad-abad lamanya rakyat Jawa begitu intensif mendapatkan pengajaran
kisah Mahabharata dan Ramayana lewat pagelaran wayang. Epos Mahabharata
dan Ramayana bagaimanapun menceriterakan tentang etika bernegara.
Ramayana bercerita tentang konflik antar negara, sementara Mahabharata
menyajikan perebutan kekuasaan dalam sebuah negara (Hastina). Kedua
cerita ini dalam versi Jawa dikembangkan sedemikian rupa bermuatan
‘kearifan Jawa dalam bernegara.’ Contohnya, para satria-satria kerajaan
mana pun selalu diberi ‘bumi kesatrian,’ cerminan pranata sosial Jawa di
zaman dahulu berupa ‘tanah perdikan’ dan ‘kabuyutan.’ Wacana ini bisa
dikaji untuk ‘merumuskan’ sistem ‘otonomi daerah’ yang berpijak pada
kearifan asli Jawa dan Indonesia. Contoh lainnya, setiap pagelaran
wayang selalu dibuka dengan ‘janturan pambuka’: “Swuh rep data pitana, negari pundi ta pinangka pambukaning carita. Inggih negari … (Nuswantara) kang kaeka adhi dasa purwa, gemah ripah lohjinawi, tata tentrem kerta lan raharja
…. dst.”[Terjemahan: Syahdan kisahnya, negara mana yang dijadikan
pembuka ceritera. Ya, negara … (Nusantara) …. Yang merupakan satu dari
sepuluh besar dunia, berkedaulatan dan dihormati negara lain, serba ada
dan murah segalanya, subur buminya, aman makmur dan sejahtera.] Mungkin
oleh budaya peradaban lain hal ini kurang dimengerti, maka sekedar
dinilai sebagai ‘untaian kalimat indah.’ Namun, janturan pambuka
pagelaran wayang bukan sekedar untaian kalimat indah. Ini adalah
cita-cita normatif Jawa dalam hal bernegara yang juga mengandung
kekuatan ‘mantra’ yang dimuatkan pada pakem irama, laras, dan pathet
sulukan. Gunanya untuk menanamkan (internalisasi) cita-cita bernegara
‘ala Jawa.’ Maka, sebenarnya, internalisasi ‘kesadaran bernegara’ telah
sedemikian rupa tertanamkan dalam hati sanubari rakyat Jawa.
Kanjeng Ratu Kidul (Foto: Gunawan Kartapranata) |
Ketika
internalisasi bernegara sudah berjalan lama, maka rakyat Jawa
berpandangan bahwa negara adalah kanugrahan (berkah) dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, bukan sekedar kontrak politik sebagaimana teori modern dari
Barat. Dipandang sebagai berkah, maka negara mestinya dipimpin seorang
‘ratu’ yang adil dan arif bijaksana. Pada wacana inilah, Jawa memandang
bahwa pemimpin negara adalah orang yang ‘kewahyon.’ Ketika pemimpin
bukan yang ‘kewahyon’, maka tidak membawa ‘berkah’ bagi rakyat.
Kelahiran Mitos ‘Ratu Adil’: Pemberontakan demi Perubahan Sosial
Kelahiran mitos ‘Ratu Adil’ dilatarbelakangi kenyataan bahwa pemerintah
keraton dan penjajah Hindia Belanda jaman itu, jauh dari kriteria adil
dan bijaksana. Di sisi lain, rakyat yang mendambakan perubahan sudah tidak
memiliki daya dan kekuatan, sedangkan para ‘sujana sarjana’
(pujangga) yang hatinya berpihak kepada rakyat dibatasi ruang geraknya.
Maka, kemudian para pujangga ini menggulirkan wacana ‘pemberontakan’ dengan
melahirkan mitos akan hadirnya ‘Ratu Adil’. Dengan demikian, mitos ‘Ratu
Adil’ bisa kita asumsikan sebagai ‘pemberontakan’ kaum cerdik pandai
Jawa dalam mengupayakan perubahan sosial masyarakat.
Mitos ‘Ratu Adil’ dalam Tantangan Zaman
Apa
mau dikata, ketika perjalanan sejarah hingga saat ini sekedar
melahirkan karakter yang jauh dari kepatriotan yang memuat ‘rasa bangga
memiliki dan menjadi Indonesia’. Sebagian besar diantara kita telah
terjangkiti virus karakter yang akan menjerumuskan bangsa dan negeri ini
ke ‘kiamat peradaban’. Virus watak yang saya maksud: ndomblong (bengong alias berdiam diri tidak berbuat apa-apa, baik karena tidak mau atau karena tidak tahu), nyadhong (menadahkan tangan/mengemis),
nggemblong (bersekutu untuk menyelewengkan proyek), nyolong (mencuri/mengorupsi), dan nggarong (merampok, membobol).
Walaupun demikian, sekarang
ini mitos akan hadirnya
‘Ratu Adil’ tetap ada di sanubari rakyat tertindas, terpinggirkan, dan
terabaikan. Meski tidak ada upaya pemberdayaan apapun, mitos ‘Ratu Adil’ masih dipercayai rakyat. Hal itu akan memelihara sikap
kritis terhadap keadaan negara dan bangsa yang sangat jauh citranya
sebagaimana yang ada pada nurani rakyat, ‘negara adalah berkah Tuhan’. Getaran mitos tersebut secara alamiah akan semakin berkobar,
yang makna harfiahnya: kecewa terhadap pemerintahan yang ada. Oleh karena itu, pada
dasarnya, mitos ‘Ratu Adil’ bisa dijadikan tema gerakan rakyat untuk
bisa menghadirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar negarawan. Peluangnya ke arah itu ada dan terbuka karena sistem perekrutan pemimpin secara pemilihan
langsung oleh rakyat. Persoalannya, bagaimana menanamkan kesadaran
kepada rakyat pemilih untuk bisa memberikan suara kepada tokoh pilihan
yang negarawan tersebut menghadapi kenyataan bahwa rakyat
pendamba hadirnya Ratu Adil pada kenyataannya lugu, sederhana, dan
sudah pada posisi ‘kalah’.
Maka, ini merupakan tantangan bagi para ‘sujana
sarjana’ zaman ini untuk memandu pencerahan akan hak-haknya. Untuk itu, piwulang
dalam Serat Wulangreh penting untuk mereka internalisasikan kembali pada rakyat agar mengarahkan mereka untuk memilih pemimpin yang
bukan botoh, durjana, pemadat, dan orang berjiwa bakul saudagar. Perlu
diingat pesan R.Ng. Ranggawarsita, hendaknya para sarjana sujana tidak
ikut ‘kelu kalulun ing kalatidha’: berwatak ndomblong, nyadhong, nggemblong, nyolong,
dan nggarong, ikut-ikutan menjadi pengkhianat
Amanat Penderitaan Rakyat.
Gusti tidak sare, dan alam semesta akan
selalu melakukan seleksi alamiahnya. Peringatan kepada siapapun untuk
tidak ‘ngundhuh wohing pakarti, diwelehake zaman’.
Swuhn.
Oleh Ki Sondong Mandali
Swuhn.
Oleh Ki Sondong Mandali