Penjabaran Kawruh Bab Pethukan Wejangan Ki Ageng Suryamentaram (KAS) yang disampaikan oleh Ki A.Taryadi, pemerhati ilmu jiwa KAS, dalam Junggring Salaka yang diposting Ki Eko Sanjoto 28 Juli 2010. Beliau membagi uraiannya ke dalam delapan bagian sebagai berikut:
- Sekapur Sirih
- Hal Tanggapan
- Yang Ditanggapi (Yang Direspon)
- Suka Benci
- Tindak Tanduk Perasaan
- Makna Perasaan
- Tukang Menanggapi (Yang Merespon)
- Urut-Urutan Jalannya Tanggapan
Ki A. Taryadi |
Sekapur Sirih
Ditugasi
menyampaikan Kawruh Bab Pethukan di jonggring salaka kali ini saya akan
mengikuti pakem saja, sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh KAS
dan Ki Prono Widigdo yang termuat dalam buku Kawruh Jiwa Jilid 3. Tujuannya
jelas agar kita dapat fokus dan langsung praktik menjenguk raos raos
kita sendiri sehubungan dengan Kawruh Pethukan ini. Di sini antara
lain kita akan melihat beda antara mempelajari catatan kramadangsa dengan
mempelajari Kramadangsa, beda antara mengerti Raos dengan melihat Raos. Untuk
menyingkat waktu, tentu saya akan menyampaikan pokok pokok masalahnya
saja. Pendalamannya bisa dilakukan di sesi berikutnya Tandhesan. Salam!
Hal Tanggapan
Kata
bahasa Jawa "Pethukan" berasal dari kata Pethuk artinya berjumpa atau
bertemu. Tapi Kawruh Pethukan tentu kurang tepat kalau diterjemahkan
dengan Ilmu Perjumpaan. Oleh karena itu, dalam buku terjemahan dalam
Bahasa Indonesia jilid I "FALSAFAH HIDUP BAHAGIA" dipilih padanan kata
TANGGAPAN untuk mengistilahi kata pethukan tersebut. Istilah lain boleh
dipakai kata respon. Diharapkan padanan kata tersebut dapat mewakili
istilah Pethukan.
Kawruh Bab Pethukan ini sesungguhnya merupakan
pengembangan atau pendalaman lebih lanjut tentang Pangawikan Pribadi
terutama Kawruh Bab Kramadangsa dan Ukuran IV. Karena Kawruh
Pethukan ini terutama juga mempelajari diri sendiri. Mempelajari diri
sendiri memang semestinya dimulai dari mengamati tanggapan/respon (Pethukan)
kita dalam berinteraksi. Sebab Tanggapan itu adalah diri kita sendiri
yang tampak ketika kita berinteraksi.
Diri kita senantiasa
berhubungan dengan benda, orang dan gagasan. Dalam hubungan itu rasa
yang timbul menanggapi adalah diri kita sendiri.Dalam pergaulan,
mengetahui tanggapan sendiri mutlak perlu. Sebab bila kita tidak
mengetahui tanggapan kita sendiri tentu kita akan selalu bertengkar
dengan orang lain .
Tanggapan kita terhadap orang lain hanya ada dua
macam , yaitu rasa dhemen dan rasa benci . Apabila diri sendiri
diuntungkan kita merasa dhemen, kalau dirugikan benci. Rupa rasa dhemen
dan benci itu banyak. Rasa dhemen misalnya: gembira, mesem (senyum),
moncer (bangga), nikmat dsb. Rasa benci misalnya: marah, main, risih,
jengkel, dsb.
Sehubungan dengan banyaknya rupa dhemen dan benci itu terkadang kita pangling dengan rasa dhemen-benci kita sendiri.
Apabila
tidak melihat tanggapan kita sendiri yang berupa dhemen dan benci itu
kita akan selalu bertengkar dengan orang lain ketika berinteraksi. Sebab
dhemen benci kita tersebut selalu dipakai menjadi patokan untuk
menetapkan benar salah, baik buruk terhadap yang dihadapi. Kalau
menguntungkan dianggap benar atau baik, kalau merugikan dianggap salah
atau buruk. Itulah sebabnya kenapa diri kita sendiri sesungguhnya
menjadi pusat pertengkaran, pabrik pertengkaran atau dengan kata lain
tukang bertengkar.
Itu semata-mata dikarenakan setiap kita pasti
merasa pribadi. Setiap merasa pribadi pasti mencari enak pribadi,
mencari untung pribadi, tidak peduli orang lain. Padahal kita selalu
merasa pribadi, jadi kita tetap menjadi tukang bertengkar, disebabkan
oleh sikap mementingkan diri sendiri tersebut. Dengan demikian itu
berarti melihat tanggapan diri sendiri harus sampai mengetahui diri
sendiri yang tukang bertengkar.
Melihat rasa tentu berbeda dengan
mengerti rasa. Melihat rasa itu tidak sukar. Asalkan mata batin kita
melek pasti kita bebas melihat rasa, Mengerti rasa itu bisa mudah , bisa
juga sukar tergantung kemampuan berpikirnya . Oleh karena itu mengerti
rasa itu bisa mengerti sedikit atau mengerti banyak .
Sebelum
mengetahui tanggapan kita sendiri, kita harus jelas terlebih dahulu yang
kita tanggapi. Sebab apabila yang ditanggapi tidak jelas tanggapannya
pun tidak jelas. Setiap ada rasa yang timbul dari batin kita, itulah
tanggapan kita yang berupa dhemen-benci. Timbulnya rasa tanggapan
tersebut tentu karena tersentuh oleh sesuatu yang ditanggapi. Jika tidak
ada sentuhan dari yang di tanggapi tentu tidak akan timbul rasa
tanggapan. Adapun yang menyentuh rasa tanggapan kita adalah sifat dan
perbuatan yang ditanggapi. Itulah yang menyebabkan hidupnya Kramadangsa.
Yang Ditanggapi ( Yang Direspon)
Adapun yang ditanggapi ada 3 hal. Yaitu barang barang (benda), orang, dan gagasan.
- Barang barang.
Yang paling mudah dicermati adalah tanggapari terhadap barang-barang, karena barang barang itu dapat dikenal dengan indra kita. Oleh sebab itu mudah dipahami sifat dan perilakunya. -
Orang
Yang agak sulit dipahami adalah tanggapan terhadap orang, karena orang memiliki perasaan (Raos). Berhubungan dengan orang berarti berhubungan dengan perasaan (Raos). Dalam berhubungan dengan orang (Raos) kita sering keliru memakai cara berhubungan dengan barang. Misalnya cara kita mendidik anak supaya rajin belajar dengan paksaan dan marah marah. Dengan cara tersebut tentu hasilnya tidak akan maksimal. Sebab masalah rajin itu adalah kamauan sendiri. Kenapa anak tidak rajin tentu ada sebabnya. Kita harus mencari sebabnya. Misalnya disebabkan oleh keasyikannya terhadap sesuatu, keasyikan itulah yang harus diupayakan untuk dihilangkan. -
Gagasan
Adapun yang paling sukar diketahui ialah tanggapan atas gagasan diri sendiri, karena gagasan ini sebelum kita teliti, kita mengangap sebagai kebenaran. Sesuai dengan kenyataan. Sehingga gagasan ini memposisikan diri sebagai yang menanggapi, bukan sebagai yang ditanggapi. Misalnya gagasan tentang kematian. Gagasan tentang kematian itu biasanya berupa ajaran-ajaran seperti ajaran kematian yang menyatakan bahwa: "Orang mati itu kalau memperoleh karunia, Sukmanya bisa menunggal dengan Hyang Sukma". Ajaran ini kemudian dipakai untuk menetapkan benar atau salah bagi tingkah laku seseorang. Bila melaksanakan ajaran tersebut dianggap benar sebaliknya kalau tidak melaksanakan dianggap salah. Namun, setelah diteliti, dan diketahui bahwa ajaran itu hanya gagasan, maka kitapun mengetahui bahwa ajaran tersebut tidak layak dipakai sebagai tolak ukur untuk menentukan benar-salah perilaku seseorang. Sebab yang mengajarkan juga belum pernah mati.
Gagasan itu banyak sekali jumlahnya. Tetapi secara umum pada dasamya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : Tatanan, ajaran-ajaran dan pendapat.
Berlanjut ke bagian dua: Memahami Rasa Suka dan Benci (Dhemen Sengit)