Perkawinan teman saya dengan
orang Cianjur, suku Sunda, mengingatkan saya
tentang Jawa vs Sunda yang pernah saya alami pada saat tugas mengikuti
diklat-diklat ke Cianjur. Di sana saya sering ditanyai, ”Kapan pulang ke
Jawa?” Ketika mendapat pertanyaan ini, saya menjadi bingung. Jelas kami
sama-sama berada di pulau Jawa, mengapa ditanyai kapan pulangnya ke
Jawa. Pertama kali ditanyai seperti ini, saya merasa pertanyaan ini
berbau rasial. Karena itulah, sebelum kecele saya mencoba menanyakannya pada guru saya, Mbah Google.
Dalam
diskusi-diskusi yang berkembang di internet, ada pendapat yang
mengaitkan ungkapan itu dengan gaya bahasa, yaitu penggunaan majas totem pro parte. Majas totem pro parte
adalah menyebutkan keseluruhan dengan maksud menunjuk pada sebagian.
Jadi Jawa dalam ungkapan ”Kapan pulang ke Jawa?” adalah Jawa (bagian)
Timur. Contoh majas ini dapat dilihat dalam kalimat: "Cina mengalahkan
Indonesia dalam babak final perebutan Piala Thomas." Kata "Indonesia"
dalam kalimat tersebut sebenarnya merujuk pada "tim bulutangkis
Indonesia", bukan seluruh negara Indonesia. Demikian juga halnya dengan
kata Cina.
Ada pula yang menambahkan bahwa yang lebih dahulu memakai majas totem pro parte
dengan kata ”Jawa” adalah pembantu-pembantu mereka dari suku Jawa yang
tiap kali pamit pulang, mereka bilang ”Saya mau pulang ke Jawa, Den.”
Menurut pendapat ini, para babu menggunakan majas itu untuk menjaga
gengsi dengan mengambil istilah yang umum karena mereka malu kalau harus
menyebut langsung daerah asli mereka yang lebih terpencil. Hal itu bisa
disamakan dengan orang lebih menyukai menyebut ”Saya berasal dari
Malang” daripada ”Saya berasal dari desa Poncokusumo” meskipun desa
Poncokusumo adalah bagian Malang juga. Menurut saya pendapat tambahan
ini bernada merendahkan. Tapi saya belum berani mengambil kesimpulan
benar tidaknya.
Mengapa bisa terjadi penyebutan Jawa Timur sebagai daerah yang terpisah dengan Cianjur misalnya, dan bukan memandangnya dengan kacamata persatuan Indonesia dan satu pulau Jawa?
Yang mulai bisa mengurai
kebingungan ini adalah pendapat yang mengaitkannya dengan efek
psikologis kisah peristiwa Bubat di masa Majapahit, dimana raja
Pajajaran dan putrinya dibunuh oleh orang Mahapahit. Setelah terjadinya
peristiwa Bubat, wanita yang berasal dari lingkungan Kerajaan Majapahit
juga dimasukkan dalam wanita larangan, sehingga tabu untuk dinikahi.
Menurut pendapat versi ini, orang Sunda menjadi dendam temurun sehingga
tidak mau lagi disebut sebagai bagian dari Jawa, dengan membeberkan
fakta unik bahwa sampai sekarang tidak ada nama jalan Gajah Mada atau
jalan Hayam Wuruk di Bandung.
Arus Bali - Pramoedya Ananta Toer |
Arus Balik: Analisis Kisah Sejarah Subyektif Pram
Saya mulai dapat memahami pendapat tentang efek
psikologis ini ketika membaca novel Pramoedya Ananta Toer, yaitu Arus
Balik. Pada novel beliau yang diakui dunia itu digambarkan bahwa Jawa
pada zaman dahulu terbagi dalam wilayah-wilayah kekuasaan berbeda yang
rentan terjadi perang. Adanya batas-batas kekuasaan itu membuat
pertanyaan ”Kapan pulang ke Jawa?” bisa dipahami konteksnya, yaitu
cenderung ke politis geografis daripada rasialis seperti yang berkembang
sekarang. Saya mengerti bahwa saya sedang mendasarkan analisis ini
dengan sebuah novel. Jika ingin memandang sejarah sebagai kisah, pada
satu sisi, tentu interpretasi haruslah mendekati kebenaran melalui
metode analisis tertentu sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Dan saya
belum tahu bagaimana Pram melakukannya sebagai sastrawan. Tapi mau
bagaimana lagi, saya lebih suka cerita Pram. Pada titik ini, saya
melihat novel Pram sebagai analisis kisah sejarah subyektif Pram untuk
memahami persoalan hidup, seperti hal-nya pertanyaan yang membuatku
bingung di atas. Yang saya tekankan di sini adalah bahwa sebenarnya
disinilah pentingnya ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, sosiologi, dan
geografi yang diampu kantor tempat saya bekerja menjadi signifikan. Saya
memandangnya sebagai pisau bedah memahami persoalan untuk mendapatkan
pelajaran berharga dalam hidup, bukan sebagai hafalan yang tidak ada
maknanya. Historia magistra vitae. Mudah-mudahan kita tetap bersatu dengan memahami secara arif.
Hegemoni Budaya Jawa
Menurut Wikipedia, batas timur budaya Sunda pada abad ke-5 Masehi
diperkirakan berada kurang lebih di garis antara daerah yang sekarang
disebut Kendal dan Dieng dan sekarang terletak di provinsi Jawa Tengah.
Berkat ekspansi sukubangsa Jawa menuju ke barat, perbatasan antara
budaya Sunda dan budaya Jawa berada lebih ke barat yaitu di sekitar
Indramayu, Cirebon sampai ke Cilacap. Pengaruh yang efeknya lebih terasa
dan lestari terjadi pada abad ke-16 dengan penyebaran agama Islam di
pulau Jawa serta ekspansi kerajaan Mataram II yang dipimpin oleh Sultan
Agung. Deskripsi tentang hegemoni Jawa ini dijelaskan secara rinci oleh Dr. Reiza D. Dienaputra, dosen pada Program Studi Ilmu Sejarah Padjadjaran berikut ini:
Budaya Jawa masuk ke Jawa Barat melalui dua cara. Pertama, melalui kegiatan perdagangan, pertanian, dan migrasi di daerah pesisir utara. Kedua, melalui prajurit dan priyayi Mataram semasa terjadinya ekspansi Mataram di Jawa Barat. Kebudayaan Jawa yang dibawa prajurit dan priyayi Mataram merupakan kebudayaan Jawa pedalaman yang sarat dengan nilai-nilai feodal. Dampak dari infiltrasi budaya Jawa di Jawa Barat adalah kentalnya pengaruh budaya feodal Jawa di Jawa Barat, seperti misal sistem unggah-ungguh basa dalam bahasa Jawa keraton muncul dalam bahasa Sunda berupa undak-unduk basa yang mulanya berkembang di pendopo-pendopo kabupaten.
Bahkan, lebih dari itu, penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan sempat tergeser sekian lama oleh bahasa Jawa dan baru bisa bangkit kembali sebagai bahasa tulisan menjelang akhir abad ke-19. Itupun berkat prakarsa K.F. Holle, orang Belanda yang memiliki perhatian besar terhadap perkembangan kebudayaan Sunda. Nasib lebih tragis dialami aksara Sunda. Setelah sempat teralienasikan ke daerah pegunungan yang terpencil (Kabuyutan Gunung Larang Srimanganti di Lereng Gunung Cikuray, Garut Selatan), aksara Sunda harus mengakhiri hidupnya pada abad ke-18. Selanjutnya, peranannya digantikan oleh aksara Cacarakan yang dipinjam dari aksara Jawa (aksara Carakan), aksara Pegon yang dipinjam dari aksara Arab, dan aksara latin yang dipinjam dari budaya Eropa. Di luar sistem bahasa, pengaruh budaya Jawa antara lain tampak pula dalam sistem kemasyarakatan (tata krama) dan sistem mata pencaharian (dari berladang atau berhuma menjadi bersawah).
Ketidakberdayaan urang Sunda (dan Cirebon) dalam menghadapi infiltrasi budaya Jawa bisa jadi diakibatkan oleh dua kondisi. Pertama, tidak membuminya ideologi Sunda produk kerajaan Sunda di kalangan urang Sunda kebanyakan atau dengan kata lain ideologi Sunda tersebut besar kemungkinan hanya tersebar secara apik di kalangan elit kerajaan sehingga belum menjadi identitas kebanyakan urang Sunda. Kedua, kuatnya hegemoni Mataram dalam berbagai bidang di Jawa Barat. Terlepas dari apapun faktor ketidakberdayaan tersebut, yang jelas sejak masuknya pengaruh Jawa, sejarah kebudayaan Sunda (dan Cirebon) memberikan eksplanasi tentang semakin beragamnya budaya asing yang mempengaruhi kehidupan urang Sunda (dan Cirebon). Lebih dari itu, sejak masuknya budaya Jawa dapat dikatakan sejak itu pula budaya kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai feodal berkembang dengan subur di Jawa Barat.