A
heavy rain poured down from the sky last night, and the weather is cool
and refreshing this morning, and I feel great. I feel greater and
enlightened after reading an article from an old Gems, from Reader's
Digest, entitled Einstein: A Study in Simplicity.
It tells me that
Einstein's face is the look of a man at peace with himself. This means
he has found the way to supreme happiness, serenity, because he has
remained a simple human being. He likes walking and sailing a boat, and
doesn't want to waste mental energy on such games as bridge and chess.
He uses the same soap to wash and to shave. He is not much of a reader.
"Reading after certain age diverts the mind too much from its pursuits.
Any man who read too much and uses his brain too little falls into lazy
habits of thinking," he says. He wasn't a brilliant student, once he
failed in his first entrance examination to the school.
One of his
opinion about nationalism is: "It is an infantile disease. It is the
measles of mandkind." It is because he loves the good of human race, not
only a nation which is part of it. Nice article, really simple but a
gem!
Terjemahan:
Hujan semalam seakan tercurah dari langit, dan pagi ini
terasa segar hingga kumerasa bersemangat. Dan semangatku bertambah
ketika aku membaca salah satu artikel di Gems, bunga rampai artikel
terbitan lama Reader's Digest, yang judulnya Einstein: A Study in Simplicity.
Artikel
itu mengungkapkan bahwa raut muka Einstein sendiri menggambarkan rasa
damai dalam dirinya. Itu berarti beliau telah menemukan jalan menuju
puncak kebahagiaan, ketenteraman, dengan tetap menjadi manusia yang
sederhana. Beliau suka jalan-jalan dan berlayar memakai perahu, tanpa
mau menghabiskan energi pikirannya untuk permainan yang memeras pikiran
seperti bridge dan catur. Beliau menggunakan sabun yang sama untuk
mencuci maupun bercukur. Beliau pun bukan kutu buku. "Membaca setelah
beberapa lama akan mengubah pikiran menjadi melenceng jauh dari apa yang
dicita-citakan. Siapapun yang terlalu banyak membaca dan sedikit
mempergunakan otaknya akan terjerumus dalam kebiasaan malas berpikir."
kata beliau. Beliau pun bukan siswa yang pandai, suatu saat pernah gagal
dalam ujian masuk suatu sekolah.
Salah satu pendapatnya mengenai
nasionalisme: "Nasionalisme adalah penyakit kekanak-kanakan, wabah yang
menyerang umat manusia." Semua itu dia ungkapkan atas cintanya pada
kemanusiaan, bukan hanya sebuah bangsa yang hanya merupakan bagian kecil
saja.
Benar-benar artikel bagus yang terpendam dalam fenomena badai informasi sekarang ini.
Catatanku Kamis tanggal 1 Februari 2007