Juru catet, jiwa dalam ukuran pertama, dalam perkembangannya diganti istilah dengan "juru potret" dengan tujuan memberi gambaran yang jelas agar jiwa yang tumbuh berkembang mampu memandang setiap persoalan tanpa terhalang hasil-hasil potret sebelumnya atau membersihkan kaca kamera yang kotor yang bisa menghalangi fokus obyek pemotretan. Intinya adalah "obyektifitas" dalam meneliti, dan ini bisa gampang bisa sulit karena sebelum meneliti sesuatu sang peneliti harus benar-benar netral apalagi jiwa dewasa itu memotret "rasa" yang juga ada dalam rasanya sendiri.
Ini topeng, bukan teroris |
Pertama-tama kita teliti istilah "teroris". Kalau pengertian kita "teror" itu sebagai prilaku yang mengganggu, merugikan kita, maka kita sudah memihak dan kalau kita teruskan penelitianpun hasilnya adalah pasulayan karena rasa yang ada pada orang yang kita sebut "teroris" tersebut justru sebaliknya yaitu perbuatan yg mulia dan untuk kebaikan bersama.
Robertho Simson: Teroris orang sakit... dan saya benci. Saya sadar itu.Ki Kondang Sarwoedi:
(Jawab: ini memang penelitian ngeri-ngeri sedhep, mudah-mudahan ada komentar lainnya biar tambah seru sebelum pemangih leres-ku melanjutkan ngoceh, tak leren sik....)
KJ KAS tidak membuat penilaian (ngalem-nyacat) juga tidak membuat rekomendasi (fatwa) karena bukan agama, hanya meneliti dorongan-dorongan bawah sadar manusia yang mengakibatkan suatu tindakan seobyektif mungkin hingga menempatkan suatu masalah sebagaimana mestinya. Sebut saja "terorisme" adalah prilaku yang bersumber dari keyakinan yang menganggap apa yang diperbuat itu adalah sesuatu yang mulia.
Umumnya ujud keyakinan itu ideologi dan agama. Keduanya diyakini mampu "memayu hayune bawana" di satu sisi, di sisi yang lain bagi ideologi atau agama yang berseberangan dianggap penghalang terciptanya perdamaian dan kemajuan dunia. Keyakinan itu tergolong pada jiwa manusia ukuran ke-2, yaitu catatan-catatan pemanggih leres (claim of truth) yang hidup dan mempribadi.
Sumbangan ideologi dan agama sangat besar bagi peradaban dunia, karya agung pemikiran manusia yang luar biasa manfaatnya; sementara, kalau kehancuran dunia juga disebabkan oleh kedua hal tersebut apa harus dihapuskan saja ideologi dan agama itu?
Ide menghapuskan juga masih pada geng "pemanggih leres", masih di ukuran 2. Jadi, untuk urusan dorongan melakukan suatu perbuatan itu hanya muter-muter di jiwa ukuran ke-2 kemudian diajukan ke kramadangsa tukang mikir (ukuran ke-3) untuk memutuskan suatu tindakan. Dan dorongan dari pemanggih leres yang bersumber dari catatan ideologi dan agama tadi hanya memberi 2 opsi yaitu setiap kali berinteraksi dengan orang, orang tersebut harus mendukung atau kalau menentang habisi. Dari sinilah praktek inquisi berakar. Zaman perang salib antar Islam, Kristen, dan Yahudi; zaman Gajah Mada antara Syaiwa dan Budha, zaman orla lebih kompleks lagi dan di Indonesia saat ini ya seperti yang kita saksikan dari kelompok golongan agama tertentu adalah sebagai contohnya.
Sudut pandang KJ KAS
Agama dan ideologi, sebagaimana diterangkan di atas, adalah sebagian dari catatan-catatan di luar catatan raos gesang (catatan bagaimana mempertahankan hidup) yaitu banyak catatan tentang bagaimana hidup makmur (catetan gesang butuh subur) yang dua-duanya bersifat sewenang-wenang. Sifat sewenang-wenang itu ada pada setiap orang yang masih mengabdi pada ukuran ke-2.(SING PENTING NGREGENGKE KOMUNITAS KARO NGEPEK-EPEK CATETAN MUMPUNG SEHAT.)
Oleh: Ki Kondang Sarwoedi