Share artikel yang ditulis oleh Ki Wit Wijayantodipuro dalam note facebook maupun blog beliau.
keYAKINan bukan pengeTAHUan
Tadi
sore aku melihat berita di televisi, bentrokan terjadi (lagi) antara
komunitas Syiah dengan komunitas Sunni di Madura. Aku tidak peduli
dengan Syiah atau Sunni-nya itu bagaimana, kalau mau tahu tentangnya,
tinggal googling saja, untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya KEYAKINAN
mereka masing-masing. Bagiku, tentang KEYAKINAN sepatutnya tidak perlu
diperdebatkan/dipertentangkan. Jika ingin tahu KEYAKINAN orang lain,
tanyakan saja, KEYAKINANnya bagaimana, dan mengapa sampai pada KEYAKINAN
tersebut. Jika merasa COCOK dengan KEYAKINAN itu, ya ikuti saja (ikut
YAKIN), jika merasa TIDAK COCOK, ya tidak usah diikuti.
Yakin? Atau tahu? |
Yang
membuat REPOT dan sering menjadi MASALAH, adalah ketika orang TIDAK
SADAR, bahwa KEYAKINAN itu telah membuatnya menjadi JAHAT pada orang
lain yang berbeda KEYAKINAN. Tidak setuju dengan KEYAKINAN orang lain,
itu bukan KEJAHATAN, tetapi melakukan tindakan yang merugikan pihak
lain, itulah KEJAHATANnya. "Celakanya", tindakan JAHAT itu kadangkala
dianggap sah dan benar bahkan dianggap sebagai tindakan SUCI, karena
sesuatu yang diYAKINi.
Walau sudah diajari untuk "aja kagetan, aja gumunan"
(jangan mudah kaget, jangan mudah heran), aku masih saja heran dengan
orang-orang yang menjadikan KEYAKINANnya sebagai 'standar' untuk
MENGHAKIMI orang lain. Untung aku pernah belajar pada ajaran Yeshua
(Yesus), yang mengajarkan "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi."
(Matius 7:1). Aku baca ajaran Yeshua ini sudah sejak masih
kanak-kanak, tetapi merasa 'agak paham' dengan ajaran itu baru beberapa
tahun yang lalu.
Aku banyak melihat/mengetahui, bahwa
PENGHAKIMAN seseorang terhadap orang lain, hampir semua berdasarkan pada
KEYAKINAN orang itu. Aku kemudian belajar, bahwa KEYAKINAN itu bukan
PENGETAHUAN. YAKIN itu berbeda dengan TAHU.
Contoh
sederhana pernah aku diskusikan dengan salah satu temanku. Jika dalam
sebuah ruangan, ada beberapa kursi dan meja, kemudian ada satu orang
yang YAKIN bahwa salah satu kursi di ruangan itu diduduki oleh "JIN",
dan orang lain YAKIN bahwa tidak ada "JIN" di ruangan itu, pertanyaannya
KEYAKINAN siapa yang benar? Tidak ada yang bisa menyalahkan KEYAKINAN
seseorang. Orang boleh saja YAKIN ada JIN yang duduk di salah satu
kursi, tetapi orang lain juga boleh YAKIN bahwa tidak ada JIN di kursi
itu. Tentang apakah SESUNGGUHNYA ada JIN atau tidak di kursi itu, yang
diperlukan bukan KEYAKINAN, tetapi PENGETAHUAN. Perlu (orang yang) TAHU,
apakah sesungguhnya di kursi itu ada JIN-nya atau tidak. Ingat, TAHU
(pengeTAHUan) itu bukan MERASA TAHU atau SOK TAHU.
PengeTAHUan,
bisa DIBUKTIKAN, karena BISA DIPELAJARI secara LOGIS (masuk akal)
bagaimana untuk menjadi TAHU itu. Jika ada PENGETAHUAN yang dianggap
TIDAK MASUK AKAL/TIDAK LOGIS, maka ada 2 kemungkinan, yaitu (1) itu
sebenarnya BUKAN PENGETAHUAN, melainkan hanya KEYAKINAN. (keyakinan
tidak perlu dibuktikan benar/salah-nya, semua keyakinan adalah "benar"
menurut yang meyakininya). (2) Jika benar itu adalah PENGETAHUAN
seseorang, namun tidak masuk akal bagi orang lain, itu karena
akal/logika orang lain itu yang "tidak sampai" untuk memikirkan
pengetahuan itu. Mungkin memang batas akal tiap-tiap orang berbeda.
Mau
lebih jelas tentang beda KEYAKINAN dan PENGETAHUAN? Aku akan memberi
contoh lain. Aku YAKIN bahwa besok jika mati, aku akan MASUK SURGA, ini
adalah KEYAKINAN, bukan PENGETAHUAN. Sebab sesungguhnya aku TIDAK TAHU
(BELUM TAHU) apakah besok masuk surga atau tidak. Mengapa aku TIDAK
TAHU/BELUM TAHU? Pertama, bahkan tentang SURGA saja aku TIDAK TAHU,
karena BELUM PERNAH ke sana (apakah sebuah tempat? apakah sebuah
keadaan?). Kedua, aku masih ada di SAAT INI/SEKARANG, belum BESOK, maka
sesungguhnya yang BESOK itu masih hanya berupa
GAGASAN/IMAJINASI/KEYAKINAN.
Lantas, apa yang aku KETAHUI?
Yang aku keTAHUi adalah yang SEKARANG aku alami, yang SEKARANG aku
lihat, yang SEKARANG aku dengar, yang SEKARANG aku rasakan. Yang DULU
pernah aku alami, yang DULU pernah aku lihat, yang DULU pernah aku
dengar, yang DULU pernah aku rasakan, itu semua (sekarang) sudah menjadi
CATATAN/PENGALAMAN.
Biasanya orang tidak teliti tentang
yang DIKETAHUI dan yang PERNAH DIKETAHUI (catatan/pengalaman). Kalau
aku diajak seorang teman, untuk makan di sebuah rumah makan yang KATANYA
makanan di sana enak, aku bisa "iseng" memberi jawaban, "Enaknya khan
DULU ketika kamu makan di sana, yang DULU enak, itu sekarang sudah
menjadi CATATAN ENAK. Kita hanya akan TAHU apakah enak atau tidak enak,
itu ketika SEDANG MERASAKAN makanan itu". Dengan versi singkat, kalau
aku diajak makan di sebuah tempat makan dan "dipameri" bahwa di tempat
itu makanannya enak, kadang aku jawab, "Enaknya khan DULU, sekarang kita
BELUM TAHU."
Apapun yang NANTI atau BESOK, adalah
KEYAKINAN, bahkan hanya IMAJINASI atau GAGASAN saja. Apapun yang LALU,
adalah CATATAN, atau PENGALAMAN. Memang bisa kita BERIMAJINASI bahwa
yang BESOK itu masih sama dengan/kelanjutan dari yang LALU, tetapi
inipun hanya KEYAKINAN, bukan PENGETAHUAN. Bahwa KEYAKINAN itu kemudian
TERBUKTI BENAR, itu sangat mungkin, tetapi SEBELUM sampai TERBUKTI,
keyakinan hanya merupakan IMAJINASI/GAGASAN saja.
Agama
dengan DOKTRIN dan DOGMA-nya, (menurutku) mengajarkan tentang
GAGASAN-GAGASAN, atau IMAJINASI-IMAJINASI. Agama mengajarkan gagasan
tentang Tuhan, gagasan tentang Surga dan Neraka, gagasan tentang
berbagai hal. Sayangnya, GAGASAN-GAGASAN dalam agama ini, menjadikan
banyak manusia MERASA TAHU berbagai hal, padahal, sebenarnya yang
dikeTAHUi adalah GAGASAN-GAGASAN itu. Gagasan bahwa BESOK akan masuk
surga, GAGASAN bahwa besok di surga akan memuji Tuhan atau akan
menikmati sexual intercourse dengan bidadari-bidadari cantik
jelita, GAGASAN bahwa di neraka ada api yang sangat panas menyala-nyala,
yang membakar apa saja di sana, tetapi tidak mampu menghanguskan yang
dibakarnya itu. Gagasan-gagasan ini adalah KEYAKINAN belaka. Tidak ada
yang melarang orang punya KEYAKINAN atau punya GAGASAN/IMAJINASI, tetapi
MENGANGGAP bahwa gagasan/imajinasi/keyakinan itu sama dengan
PENGETAHUAN, itu adalah SESAT PIKIR, karena pikiran tidak mampu (atau
tidak mau) membedakan antara apa yang DIYAKINI dengan apa yang
DIKETAHUI.
Namun, kenyataannya adalah bahwa kita semua
hidup dengan KEYAKINAN (gagasan-gagasan/imajinasi-imajinasi), juga
dengan PENGETAHUAN, juga dengan KETIDAKYAKINAN dan juga KETIDAKTAHUAN.
Yang diperlukan adalah MENEMPATKAN keyakinan/ketidakyakinan dan
pengetahuan/ketidaktahuan dalam posisi yang baik, yang baik untuk diri
kita sendiri, dan baik untuk orang lain.
Salah satu kutipan favoritku adalah: "HIDUP
penuh bakti ini bukan dijalani untuk menipu orang atau untuk mengajak
orang mengikuti ajaran kita. Hidup penuh BAKTI ini dijalani agar bisa
memandang ke dalam SEMUA hal, dan MEMAHAMInya." (Itivuttaka Sutta).
Ada
banyak AJARAN yang berdasarkan KEYAKINAN/gagasan/imajinasi. Ada juga
AJARAN yang berdasarkan pada PENGETAHUAN/CATATAN TAHU/PENGALAMAN. Jika
kita punya AJARAN, tidak perlu MEMAKSA orang lain untuk mengikuti ajaran
kita, apalagi jika ajaran itu hanya berdasarkan pada
KEYAKINAN/GAGASAN/IMAJINASI. Bahkan, jika kita punya ajaran yang
berdasarkan pada PENGETAHUAN/CATATAN TAHU/PENGALAMAN-pun, tidak perlu
juga memaksakan PENGETAHUAN kita untuk diketahui/dipahami oleh orang
lain, karena jika orang lain itu tidak/belum TAHU SENDIRI, mungkin
sangat sulit baginya untuk menerima PENGETAHUAN kita.
Contoh,
sampai sekarang aku masih sering menjumpai pernyataan-pernyataan orang
yang menolak hal-hal "gaib". Bagiku, silakan menolak hal gaib, tetapi
aku PERNAH MELIHAT sebuah keris yang terbang/melayang sendiri sambil
memancarkan cahaya kehijauan, dan bagiku itu adalah "gaib", karena aku
hanya TAHU bahwa keris itu terbang/melayang, tetapi aku TIDAK TAHU
(tidak bisa menjelaskan) bagaimana keris itu bisa terbang/melayang. Jika
aku tahu bagaimana keris itu bisa terbang/melayang, tentu tidak lagi
gaib bagiku. Banyak orang yang menolak hal gaib, bukan karena bisa
menjelaskan bagaimana yang gaib itu (misalnya menjelaskan bagaimana
keris itu bisa terbang/melayang sendiri), tetapi karena BELUM PERNAH
MELIHAT/MENGALAMI hal-hal gaib.
PENGETAHUAN saja bisa
ditolak, apalagi KEYAKINAN. Aku mengajarkan apa yang aku (pernah)
KETAHUI saja, bisa/boleh ditolak, tidak dipercayai, lebih-lebih jika aku
mengajarkan GAGASAN/IMAJINASI/KEYAKINAN, sangat boleh untuk ditolak.
Tetapi kenyataan di masyarakat, hingga saat ini, terjadi banyak MASALAH,
karena "ADU" keyakinan, "ADU" gagasan, "ADU" imajinasi. Ya..., yang
bisa di-ADU adalah keyakinan, gagasan dan imajinasi, sebab PENGETAHUAN
tidak perlu diadu.
Keyakinan/gagasan/imajinasi adalah
PENDAPAT, sedangkan pengetahuan itu BUKAN PENDAPAT, melainkan
PENGALAMAN. Pengalaman hanya dimengerti oleh yang mengalami sendiri,
sebab jika pengalaman orang lain yang diceritakan, itu hanya KATANYA.
Kita boleh percaya atau tidak percaya pada KATANYA itu. Orang yang
berpengalaman dan bercerita tentang pengalamannya itu, tidak bisa
memaksa orang lain untuk memercayainya.
Dalam komunitas Kawruh Jiwa, aku pernah belajar bahwa "pemanggih kepanggih pemanggih, dadosipun sulaya"
(pendapat/gagasan bertemu pendapat/gagasan, jadinya beda
pendapat/perselisihan), oleh sebab itu, di komunitas Kawruh Jiwa, ketika
orang menyampaikan PENDAPAT/GAGASAN, sudah biasa akan "disindir" dengan
pernyataan "itu khan pendapatmu, apakah benar demikian?" Untuk
membuktikan sesuatu itu benar/tidak benar, perlu TAHU, bukan hanya
YAKIN. Jika tidak bisa dikeTAHUi, maka pendapat apapun tidak bisa
dianggap benar/salah, karena hanya "benar" menurut yang berpendapat.
Tetapi berPENDAPAT apapun, itu BOLEH, yang tidak boleh/tidak baik/tidak
bijak, adalah jika memaksakan pendapat.
Mungkin baik jika
kita bisa biasa MEMBEDAKAN antara KEYAKINAN dengan PENGETAHUAN,
membedakan apa yang kita YAKINI dengan apa yang kita KETAHUI. Penting
juga MENYADARI bahwa KEYAKINAN tidak bisa dipaksakan, bahkan
PENGETAHUANpun tidak selalu bisa diterima oleh orang lain. Memaksakan
KEYAKINAN dan/atau PENGETAHUAN kita kepada orang lain, hanya akan
membuat KETIDAKNYAMANAN hidup. Mempelajari KEYAKINAN dan PENGETAHUAN
orang lain, seringkali perlu untuk MENGUJI keyakinan kita sendiri.
Menguji keyakinan orang lain, kadang perlu, untuk menunjukkan bahwa
keyakinannya itu memang hanya keyakinan/gagasan/imajinasi, bukan
pengetahuan, sebab masih banyak orang yang sebenarnya YAKIN tetapi
MERASA seolah-olah TAHU, dan menjadi SOK TAHU, dan kemudian menimbulkan
ketidaknyamanan-ketidaknyamanan dalam hidup bersama.
PENGETAHUAN
tidak perlu diuji, cukup DIKETAHUI saja, sebab PENGETAHUAN itu hasil
dari MENGALAMI, MERASAKAN, bukan dari MENGGAGAS atau MEREKA-REKA, atau
MEMATUT-MATUT.
Nah..., tulisan di atas, itu semua hasil
GAGASAN/PENDAPATku, tentu dengan berbagai sebab/alasan, hingga aku
menggagas demikian itu. Anda yang membaca, boleh sependapat, boleh juga
berbeda pendapat.
Catatan:
Kata
"PENGETAHUAN" di dalam tulisan ini, berbeda makna dengan kata
"pengetahuan" yang secara umum sering dipakai. Aku menekankan kata
"TAHU" dalam arti mengalami/merasakan -- atau dalam bahasa Jawa, lebih
tepat disebut "WERUH", sehingga "PENGETAHUAN" yang aku maksud di sini
adalah "KAWRUH". KAWRUH dalam pengertianku adalah "tumanduking weruh dhumateng ingkang dipun weruhi"
(keadaan/sikap/tindakan tahu terhadap --sesuatu-- yang diketahui).
Sedangkan kata "pengetahuan" dalam arti umum, biasanya menunjuk pada
apapun/sesuatu yang dicatat/disimpan di dalam otak manusia, padahal yang
dicatat/disimpan di otak, bisa jadi hanya gagasan/imajinasi/keyakinan.
Salatiga, 27 Agustus 2012
RT Wijayantodipuro
Komentar Ki Wader Rood:
Keyakinan belum tentu benar, hanya benar bagi yang meyakini saja. Pengetahuan juga belum tentu benar, hanya benar bagi yang sudah mengetahui saja.
Catata Ki Muhaji Fikriono mengenai kepercayaan:
Adjie Vickry: Dalam bahasa Arab dikenal dua istilah yang dalam bahasa kita diterjemahkan sebagai percaya. Yang pertama adalah iman dan yang kedua adalah i'tiqad. Saya memahami iman sebagai kepercayaan terhadap sesuatu yang transenden, yang mengatasi pikiran/akal. Sedangkan i'tiqad saya pahami sebagai sesuatu yang harus argumentatif dan karenanya harus masuk akal. Untuk
memahami yang Maha Positif, akan lebih mudah jika kita berangkat dari
negasi-Nya, dan itulah yang menurut saya ditempuh oleh KAS dalam
mewejangkan Kawruh Jiwa. Jadi
bagaimanapun juga saya tetap memahami intisari KJ sebagai sesuatu yang
transenden. Terutama yang berkaitan dengan Barang Asal.
Catata Ki Muhaji Fikriono mengenai kepercayaan: