Pada masanya kepercayaan tentang Tuhan tak terlalu dipertanyakan. Namun ketika peradaban memasuki abad pencerahan, sepertinya manusia lebih bisa mengandalkan ilmu pengetahuan untuk mengatasi persoalan hidup daripada agama. Para filsuf jadi lebih ribut dan cerewet dari sebelumnya. Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada?
Banyak argumen yang diajukan, namun yang paling umum adalah "argumen desain" yang dipopulerkan oleh William Paley (1743-1805). Argumen ini menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini tak mungkin ada begitu saja tanpa diciptakan sebelumnya. Jika kita menemukan sebuah jam, tak mungkin jam itu ada begitu saja. Menilik dari rumit dan teraturnya desain mekaniknya, disimpulkan bahwa jam itu pastilah diciptakan. Jika jam yang rumit itu diciptakan oleh seorang tukang pembuat jam, maka alam semesta ini-yang bahkan lebih rumit-pastilah dibuat suatu sosok yang lebih hebat dan ahli daripada si tukang jam. Pencipta atau "tukang maha besar" itulah yang diidentifikasi sebagai Tuhan. Argumen umat beragama monotheis tentang keberadaan Tuhan kebanyakan juga tak jauh dari model ini.
David Hume (1711-1776) mengajukan argumen baru sebagai anti-tesis Paley tersebut. Ia memandang alam semesta sebagai organisme hidup yang bisa meregenerasi dirinya. Alih-alih sebagai karya yang didisain oleh "tukang", alam semesta adalah organisme yang terus memperbarui diri.
Banyak argumen yang diajukan, namun yang paling umum adalah "argumen desain" yang dipopulerkan oleh William Paley (1743-1805). Argumen ini menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini tak mungkin ada begitu saja tanpa diciptakan sebelumnya. Jika kita menemukan sebuah jam, tak mungkin jam itu ada begitu saja. Menilik dari rumit dan teraturnya desain mekaniknya, disimpulkan bahwa jam itu pastilah diciptakan. Jika jam yang rumit itu diciptakan oleh seorang tukang pembuat jam, maka alam semesta ini-yang bahkan lebih rumit-pastilah dibuat suatu sosok yang lebih hebat dan ahli daripada si tukang jam. Pencipta atau "tukang maha besar" itulah yang diidentifikasi sebagai Tuhan. Argumen umat beragama monotheis tentang keberadaan Tuhan kebanyakan juga tak jauh dari model ini.
David Hume (1711-1776) mengajukan argumen baru sebagai anti-tesis Paley tersebut. Ia memandang alam semesta sebagai organisme hidup yang bisa meregenerasi dirinya. Alih-alih sebagai karya yang didisain oleh "tukang", alam semesta adalah organisme yang terus memperbarui diri.
Thomas yang peragu menyentuh Yesus, lukisan karya Caravaggio |
Kelemahan Argumen Desain Kreasionis David Paley
Saya tak setuju dengan Hume dan juga argumen Paley tentang desain yang ia tolak. Kelemahan argumen desain adalah bahwa ia langsung menganggap Tuhan sudah ada dulu. Padahal keberadaannya ingin dibuktikan. Analoginya bahwa Tuhan bagaikan tukang jam merupakan "penalaran yang melompat". Jam adalah benda yang sudah kita ketahui secara empiris. Kita juga sudah tahu bahwa jam diciptakan oleh tukang secara empiris. Keberadaan tukang itu sendiri bisa diketahui dan dibuktikan langsung. Sedangkan alam semesta adalah unik. Tak pernah ada yang tahu seorang tukang sedang membuatnya. Malah "sang tukang" inilah ingin kita buktikan keberadaannya. Jadi menyamakannya dengan jam yang dibuat tukang adalah tidak tepat.
David Hume menolak prinsip kausalitas dan mengajukan teori bandingan. Menurutnya kausalitas hanyalah fiksi dari pikiran (fiction of the mind). Kita tak bisa benar-benar mengetahui hakikat tiap benda dan dengan demikian menyimpulkan relasi dari kejadian yang menimpanya adalah tidak mungkin. Tentu saja pikiran harus tetap membuat semacam hubungan logis (fiksi dalam epistemologi Hume) agar kita tidak gila memikirkan, "bagaimana mungkin setiap benda bisa berubah sendiri-sendiri?". Walau begitu relasi itu tidaklah benar-benar menjelaskan mengapa benda itu bisa berubah seperti itu. Kausalitas hanya produk pikiran yang tak benar-benar berhubungan dengan benda yang dibahasnya.
“reason can never show us the connexion of one object with another, tho' aided by experience, and the observation of their conjunction in all past instances. When the mind, therefore, passes from the idea or impression of one object to the idea or belief of another, it is not determined by reason, but by certain principles, which associate together the ideas of these objects and unite them in the imagination.”
Teori kausalitas mungkin bisa diterima oleh umum selama berhubungan pada obyek yang tampak sehari-hari. Namun pada abad 20 para ilmuwan bergerak lebih "lancang". Fisika yang merupakan ilmu tentang benda atau materi, energi, gerak, daya dan fenomenanya melangkah lebih jauh dengan semakin memperdetail sudut pandang. Mereka menyelidiki atom hingga ke unsur pembentuknya. Penyelidikan ini membidani lahirnya satu cabang fisika bernama Mekanika Kuantum.
Jika kita menarik pandangan Mekanika Kuantum itu ke dalam ranah pembuktian keberadaan Tuhan, maka akan timbul sejumlah pertanyaan. Jika dalam skala terkecil alam semesta kausalitas menjadi absurd, kausalitas sebagai teori atau hukum itu tentunya dipertanyakan validitasnya. Kalaupun ia berlaku secara relatif tentunya tak bisa dipakai untuk mengambil kesimpulan tentang sesuatu yang absolut.
Kausalitas hanya bisa dimengerti dalam cakupan terbatas. Misalnya dalam kejadian berikut.
Peristiwa ini kita petakan secara urut berdasarkan prinsip kausalitas sebagai berikut:
Keberatan terhadap Prinsip Kausalitas dan Causa Prima
Argumen yang lain adalah tentang causa prima. Kebanyakan dari kita mengimani bahwa kausalitas adalah sebuah hukum yang tak terbantahkan. Suatu kejadian pastilah merupakan akibat dari kejadian sebelumnya (sebab) dan akibat tak bisa mendahului penyebabnya. Alam semesta ini bergerak sesuai dengan hukum kausalitas. Kausalitas ini ditelusuri ke belakang hingga "mentok" (.Jw) ke penyebab yang tak disebabkan, penggerak tak tergerakkan, induk dari segala sesuatu. Sesuatu inilah yang diidentifikasi sebagai Tuhan.David Hume menolak prinsip kausalitas dan mengajukan teori bandingan. Menurutnya kausalitas hanyalah fiksi dari pikiran (fiction of the mind). Kita tak bisa benar-benar mengetahui hakikat tiap benda dan dengan demikian menyimpulkan relasi dari kejadian yang menimpanya adalah tidak mungkin. Tentu saja pikiran harus tetap membuat semacam hubungan logis (fiksi dalam epistemologi Hume) agar kita tidak gila memikirkan, "bagaimana mungkin setiap benda bisa berubah sendiri-sendiri?". Walau begitu relasi itu tidaklah benar-benar menjelaskan mengapa benda itu bisa berubah seperti itu. Kausalitas hanya produk pikiran yang tak benar-benar berhubungan dengan benda yang dibahasnya.
“reason can never show us the connexion of one object with another, tho' aided by experience, and the observation of their conjunction in all past instances. When the mind, therefore, passes from the idea or impression of one object to the idea or belief of another, it is not determined by reason, but by certain principles, which associate together the ideas of these objects and unite them in the imagination.”
Teori kausalitas mungkin bisa diterima oleh umum selama berhubungan pada obyek yang tampak sehari-hari. Namun pada abad 20 para ilmuwan bergerak lebih "lancang". Fisika yang merupakan ilmu tentang benda atau materi, energi, gerak, daya dan fenomenanya melangkah lebih jauh dengan semakin memperdetail sudut pandang. Mereka menyelidiki atom hingga ke unsur pembentuknya. Penyelidikan ini membidani lahirnya satu cabang fisika bernama Mekanika Kuantum.
Mekanika Kuantum dalam Ranah Pembuktian Keberadaan Tuhan
Mekanika Kuantum menyelidiki unsur pembentuk materi, cara masing-masing unsur berelasi satu sama lain dan dengan energi. Jadi Mekanika Kuantum menyelidiki alam semesta dalam satuan terkecil. Para ilmuwan menemukan bahwa dalam skala kuantum, kausalitas susah didefinisikan. Teori Fisika klasik yang bisa menjelaskan semesta dalam skala konkret sehari-hari (kecepatan, gerak dan fenomenanya) ternyata tak bisa menjelaskan fenomena partikel sub-atomik.Jika kita menarik pandangan Mekanika Kuantum itu ke dalam ranah pembuktian keberadaan Tuhan, maka akan timbul sejumlah pertanyaan. Jika dalam skala terkecil alam semesta kausalitas menjadi absurd, kausalitas sebagai teori atau hukum itu tentunya dipertanyakan validitasnya. Kalaupun ia berlaku secara relatif tentunya tak bisa dipakai untuk mengambil kesimpulan tentang sesuatu yang absolut.
Validitas Teori Kausalitas dan Implementasi Praktisnya
Kausalitas itu sendiri secara definitif dipertanyakan validitasnya. Hukum kausalitas menyatakan bahwa sebab merupakan kejadian yang mendahului akibat. Lalu akibat tersebut kemudian akan menjadi penyebab dari akibat berikutnya. Semua terjadi secara beruntun dan berurutan dalam pola kausatif yang sama. Masalahnya adalah bahwa setiap kejadian di semesta ini adalah unik, selalu baru dan berbeda dengan sebelumnya. Jika kejadian ini merupakan hal yang baru, bagaimana kausalitas bisa terjadi? Kausalitas menyaratkan adanya kesamaan pola.Kausalitas hanya bisa dimengerti dalam cakupan terbatas. Misalnya dalam kejadian berikut.
Seorang anak melempar batu sehingga memecahkan kaca. Kaca tersebut pecah sehingga melukai kaki si anak.
- Anak melempar batu adalah penyebab kaca pecah.
- Kaca pecah adalah akibat dari batu yang dilempar mengenainya sekaligus merupakan penyebab dari terlukanya kaki anak.
- Kaki anak terluka merupakan akibat dari kaca pecah.
Rangkaian kejadian ini tak bisa dibalik urutannya. Masalahnya adalah bahwa masing-masing peristiwa tersebut adalah unik dan tak pernah benar-benar terulang. Dengan demikian bagaimana kita bisa menarik sebuah pola yang sama dari setiap kejadian yang unik dan berbeda? Lagipula dalam ilustrasi di atas kejadian anak yang terluka karena memecahkan kaca hanya merupakan fragmen dari seluruh kejadian di semesta (yang juga meliputi kejadian skala sub-atomik/kuantum). Dengan demikian pijakan filosofis teori kausalitas menjadi runtuh atau setidaknya rapuh. Harus diingat, bahwa penolakan terhadap teori kausalitas tidak lantas berarti kita bisa membolak-balik urutan kejadian dalam ilustrasi di atas. Kejadian itu akan tetap berlangsung sebagaimana adanya seperti itu. Yang perlu direvisi adalah pemahaman terhadapnya.
Meskipun dalam filsafat teori kausalitas mendapat banyak kritikan, implementasi praktisnya dalam hubungan sosial tak bisa dinafikan. Jadi kita harus bijak dalam menempatkan masalah kausalitas ini. Kausalitas dalam manakah yang kita maksud? Filsafat atau kehidupan praktis? Dengan demikian jika seorang kriminal membunuh, dia tak bisa beralasan bahwa terbunuhnya korbannya tak berhubungan dengan tindakannya. Sekalipun dia mendebat dengan setumpuk makalah filsafat dan fisika kuantum. Hali ini akan sama konyolnya dengan orang yang memotong leher orang dengan alasan cuma ingin memisahkan atom-atom.
Dalam pendekatan saya, progresi kejadian tidak dipandang secara kausatif melainkan secara struktural. Alih-alih menyatakan "sebab mendahului akibat", saya akan menyatakan:
"Partikel bergerak dalam kombinasi terstruktur sehingga menciptakan kejadian dalam waktu. Pikiran kita lalu mem-fragmentasi-kan kejadian beruntun itu dalam kerangka pandang sebelum-sesudah, awal-akhir. Dari sanalah kita mendapatkan pemahaman sebab-akibat."
Prinsip pandangan ini adalah satu kejadian akan terwujud jika telah tercukupi komponen struktural yang melandasinya. Bagaimana suatu komponen akan tercukupi? Kecukupan ini adalah terjadinya perubahan beberapa hal hingga skala kuantum. Komponen-komponen ini menurut saya tak bisa bergerak sendiri. Lantas, apa yang menyebabkan komponen-komponen ini bergerak? Salah satu jawaban yang mungkin adalah kehendak aktif (intelek/roh/jiwa). Bagi orang yang theistik mungkin akan cenderung memahami kehendak yang menggerakkan ini sebagai Tuhan itu sendiri. Persoalan bagaimana cara kehendak aktif ini menggerakkan komponen adalah persoalan lain lagi.
Sebenarnya, teori progesivitas perubahan dan gerak struktural antar komponen lebih merupakan suatu upaya menunjukkan bagaimana suatu kejadian berlangsung. Kebetulan teori ini menyisakan "ruang" untuk Tuhan. Sudah menjadi keumuman, suatu argumentasi akan selalu menyisakan beberapa pertanyaan. Argumen saya pun tak lepas dari itu. Bagaimana kita yakin bahwa gerakan komponen itu digerakkan oleh suatu kehendak bukan yang lain? Bagaimana hubungan kehendak itu dengan kehendak yang kita miliki sebagai manusia? Apakah kehendak itu bersatu (imanen) dengan komponen-komponen penyusun kejadian?
Meskipun dalam filsafat teori kausalitas mendapat banyak kritikan, implementasi praktisnya dalam hubungan sosial tak bisa dinafikan. Jadi kita harus bijak dalam menempatkan masalah kausalitas ini. Kausalitas dalam manakah yang kita maksud? Filsafat atau kehidupan praktis? Dengan demikian jika seorang kriminal membunuh, dia tak bisa beralasan bahwa terbunuhnya korbannya tak berhubungan dengan tindakannya. Sekalipun dia mendebat dengan setumpuk makalah filsafat dan fisika kuantum. Hali ini akan sama konyolnya dengan orang yang memotong leher orang dengan alasan cuma ingin memisahkan atom-atom.
Pendekatan Progesivitas Perubahan dan Gerak Struktural antar Komponen
Saya pribadi mengusulkan pendekatan progesivitas perubahan dan gerak struktural antar komponen. Setiap kejadian adalah hal yang secara struktural terwujud dari gerak dan perubahan komponen-komponennya. Komponen ini bisa dilacak hingga skala sub-atomik atau kuantum. Gerak dan perubahan inilah yang melahirkan ilusi tentang ruang dan waktu. Ketika gerak itu dipandang dari skala terbatas dalam kehidupan sehari-hari, yang kita lihat adalah kejadian-kejadian beruntun. Kejadian beruntun yang seolah berhubungan itu sebenarnya cuma fragmen. Sebab akibat adalah penamaan ilusif kita terhadap fragmen-fragmen ini. Meskipun cuma ilusi, sebab-akibat merupakan kerangka pandang yang cukup untuk diterapkan dalam hidup sehari-hari. Dari padanya kita bisa merumuskan pola-pola untuk memahami fenomena masyarakat, alam dan kejadian dalam lapisan tertentu. Saya tekankan sekali lagi, "Dalam lapisan tertentu!". Ini karena lapisan satunya lagi, yang lebih inti, hanya bisa dipahami lewat Mekanika Kuantum.Dalam pendekatan saya, progresi kejadian tidak dipandang secara kausatif melainkan secara struktural. Alih-alih menyatakan "sebab mendahului akibat", saya akan menyatakan:
"Partikel bergerak dalam kombinasi terstruktur sehingga menciptakan kejadian dalam waktu. Pikiran kita lalu mem-fragmentasi-kan kejadian beruntun itu dalam kerangka pandang sebelum-sesudah, awal-akhir. Dari sanalah kita mendapatkan pemahaman sebab-akibat."
Prinsip pandangan ini adalah satu kejadian akan terwujud jika telah tercukupi komponen struktural yang melandasinya. Bagaimana suatu komponen akan tercukupi? Kecukupan ini adalah terjadinya perubahan beberapa hal hingga skala kuantum. Komponen-komponen ini menurut saya tak bisa bergerak sendiri. Lantas, apa yang menyebabkan komponen-komponen ini bergerak? Salah satu jawaban yang mungkin adalah kehendak aktif (intelek/roh/jiwa). Bagi orang yang theistik mungkin akan cenderung memahami kehendak yang menggerakkan ini sebagai Tuhan itu sendiri. Persoalan bagaimana cara kehendak aktif ini menggerakkan komponen adalah persoalan lain lagi.
Sebenarnya, teori progesivitas perubahan dan gerak struktural antar komponen lebih merupakan suatu upaya menunjukkan bagaimana suatu kejadian berlangsung. Kebetulan teori ini menyisakan "ruang" untuk Tuhan. Sudah menjadi keumuman, suatu argumentasi akan selalu menyisakan beberapa pertanyaan. Argumen saya pun tak lepas dari itu. Bagaimana kita yakin bahwa gerakan komponen itu digerakkan oleh suatu kehendak bukan yang lain? Bagaimana hubungan kehendak itu dengan kehendak yang kita miliki sebagai manusia? Apakah kehendak itu bersatu (imanen) dengan komponen-komponen penyusun kejadian?
Lanjutan: Jadi, Bagaimana Meyakini Keberadaan Tuhan?