(Kemulku mega, payonku langit, kasurku bumi. Amung ngiyup saka panas udan, niteni lan ngenteni titi wancine Gusti.)
Kalau ada orang marhaen yang kuketahui, itu adalah Pak Dhe-ku. Semenjak Orde Lama dulu dia setia pada PNI. Pada saat Orde Baru dan Reformasi sekarang ini, dia setia pada Mbak Mega sebagai penerus Soekarno yang diidolakannya. Mungkin inilah setia yang sejati. Tanpa pamrih sama sekali. Benar-benar militan. Meski tidak langsung bekecimpung di politik, dia tahu nama-nama seperti Soeryadi, Pramono Anung, Cahyo Kumolo, Pak Kwik, atau nama-nama DPRD PDI-P di daerahnya. Seperti sudah mendarah daging dan dijiwainya. Coba kamu beri saja dia jas berwarna merah, sudah tentu girang bukan kepalang. Sedemikian itulah fanatiknya. (Kalau sampai temanku, Mas Yudhi, bertemu dengan orang seperti Pak Dhe-ku ini, sudah pasti dia muntah-muntah karena dia anggota ABM – Asal Bukan Mega).
Ukurannya kira-kira hanya 2 x 2 meter. Dindingnya gedhek (dinding anyaman bambu) yang sudah berlubang-lubang. Ada beberapa karakter wayang (Dewa Ruci, Kresna, Arjuna dan satu lagi aku lupa), sebuah sendok, dan irus (alat penciduk untuk menggoreng kopi) yang tersisip di gedhek itu. Atapnya seng yang pada waktu siang terik terasa panas menyangat. Di dalamnya ada satu lincak (tempat tidur dari bambu) beralas tikar. Di atasnya ada sebuah kardus berisi harta bendanya, antara lain baju-baju pemberian orang. Ketika kemarin aku berkunjung ke rumahnya dia bercerita tentang hartanya di dalam kardus itu. Dulu ia menyimpan baju-baju baru dengan diberi kapur barus agar tidak dimakan ngengat karena dia merasa sayang untuk memakainya. Hanya bila ada acara yang menurutnya spesial dia akan memakainya. Ndilalah, ketika dia ingin memakainya ke hajatan, dia mendapati baju-baju barunya berlubang-lubang tak karuan. Ternyata ngengat bisa dihindari, tapi tikus-tikus liar tak bisa dicegah dengan itu. Disimpan sayang malah hancur. Konyol. Tapi dengan kekonyolan takdir seperti itulah orang-orang seperti Pak Dhe bisa tertawa.
Di dinding rumahnya, terpampang poster PDI-P dan Mbak Mega. Usang, sudah kehitaman. Tetapi jangan dibayangkan rumah tembok. |
Pak Dhe No |
Ceritanya begini.
Waktu
itu ada pembagian kompor elpiji untuk seluruh warga. Karena dia merasa
warga desa itu juga, dia meminta bagian. Rupanya untuk mendapatkan
kompor elpiji itu setiap orang harus mempunyai Kartu Keluarga. Dia tentu
saja tidak mempunyainya karena dia duda cerai yang kini tinggal sendiri
di sebuah rumah, kalau tidak tega menyebutnya gubuk. Dia benar-benar
gusar, katanya dia tinggal di desa itu jauh sebelum kepala desa itu ada
(umurnya memang sudah tua), tidak perlu lagi diragukan kewargadesaannya
di situ. Tetapi Kades tidak bisa berbuat apa-apa. Jatah kompor elpiji
hanya untuk orang yang punya KK. Pak Dhe-ku hanya bisa bersungut-sungut
sambil pergi. Orang kecil hanya bisa sebatas bersungut-sungut. Tidak
bisa lebih. Kalaulah ada rejeki tiban
(jatuh) dari atas, baru bisa berbuat lebih. Seperti rejeki yang
diterima Pak Dhe yang dengannya akhirnya dia bisa membeli kompor baru
sebagai balas dendam sakit hatinya tidak mendapat jatah kompor elpiji.
Suatu hari ada orang punya hajat datang, dan meminta Pak Dhe menjadi
dukun hajatannya.
Rumah Pak Dhe No |
Ya, Pak Dhe memang juga seorang dukun. Mungkin itulah keadilan takdir memberinya doa menyibak mendung (katanya sendiri, aku sendiri belum pernah melihatnya), yang dengan itu dia bisa bertahan hidup, khususnya di musim kawin. Di luar musim itu, dia menggantungkan hidupnya di Sungai Brantas yang mengalir di barat desa. Dengan mengambil pasirnya, se-cikrak (alat pengeruk tradisional terbuat dari anyaman bambu) demi se-cikrak dia kumpulkan, dijual seharga tujuh puluh ribu tiap satu rit engkel (kendaraan truk bermesin diesel buatan orang-orang Kediri dan sekitar). Aku tak bertanya berapa hari untuk bisa mengumpulkan 1 rit. Akhir-akhir ini dia harus berjuang mempertahankan daerah penggaliannya dari orang-orang pemilik modal yang mempergunakan mesin diesel untuk melakukan penambangan besar. Kata Pak Dhe, mereka adalah para kapitalis yang membunuh orang-orang marhaen seperti dirinya dengan diesel-diesel itu. Orang marhaen itu, kata Pak Dhe, bukan hanya PDI-P seperti dirinya, tetapi juga orang Golkar, orang PPP dan semua partai mempunyai kader marhaen seperti dirinya.
Dari Brantas, dia juga mengais uang dengan membawa seember batu-batu kali tiap kali pulang. Di rumahnya dia punya sebuah palu besi dan sebuah alat berujung karet melingkar (sepotong karet bekas tambang timba sumur) yang dipakukan pada pegangan kayu. Dengan itu tiap seember batu yang dia bawa pulang di-thithik (dipecah). Jadi pemecah batu. Itu dilakukannya kalau punya energi lebih. Ada satu lagi yang bisa dilakukannya di sungai Brantas itu. Di gisik-nya (hamparan terdiri dari pasir dan tanah luas yang tercipta di tengah-tengah atau pinggiran sungai karena melimpahnya pasir dari Gunung Kelud), dia menanam tumbuh-tumbuhan yang bisa dijual, entah itu kayunya, daunnya, atau buahnya. Kata dia, lahan itu bukan tanah yang kena pajak, dan bebas siapa saja memetik hasil dari tanah Tuhan itu. Di atas rumahnya tergantung seikat jagung untuk benih sewaktu-waktu dia ingin menanamnya di situ.
Add caption |
Ketika kami sekeluarga menawarkan membuat rumah yang layak untuknya, dia bilang, yang penting cukup untuk berteduh dari panas dan hujan. Yang penting cukup. Persis seperti songkoknya yang usang, blangkonnya yang pudar, sabuknya yang dari tali rafia. Itulah inti hidupnya.